Wednesday, 7 February 2024

NILAI-NILAI MAQASHID SYARIAH DALAM EMPAT INDIKATOR MODERASI BERAGAMA DI INDONESIA

  admin       Wednesday, 7 February 2024

 

Nilai-Nilai Maqashid Syariah dalam Empat Indikator Moderasi Beragama di Indonesia


I.          Pendahuluan

Fenomena radikalisme atas nama agama di Indonesia telah banyak menyebabkan krisis keamanan nasional yang menjadi perhatian serius pemerintah untuk menanggulanginya. Merespons fenomena tersebut, Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) pada tahun 2019 menerbitkan buku berjudul “Moderasi Beragama”. Dalam buku tersebut, diuraikan empat indikator yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi paradigma maupun sikap keberagamaan yang moderat di Indonesia, antara lain komitmen kebangsaan, toleransi, antikekerasan, dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal.[1]

Namun fakta empiris menunjukan pengarustamaan nilai-nilai moderasi beragama tidak selamanya disambut positif oleh masyarakat Indonesia. Terdapat stigma buruk pada sebagian umat Islam yang menilai pengarustamaan moderasi beragama merupakan bentuk liberalisasi maupun sekulerisasi yang akan memisahkan nilai-nilai ajaran agama dengan kehidupan sosial bermasyarakat maupun bernegara. Stigma buruk berupa stigma liberalisme pemikiran Islam tersebut juga pernah disematkan kepada upaya pembaharuan hukum Islam yang dimotori oleh sekelompok intelektual muslim indonesia pasca era reformasi.[2]

Moderasi juga dapat diartikan kemampuan beradaptasi dan tidak kaku. Paham Islam moderat berupaya beradaptasi dan berkompromi dengan situasi dan kondisi riil di masyarakat tanpa harus keluar dari prinsip dasar agama. Oleh karena itu sebagai perwujudan dari moderasi beragama adalah selalu mengedepankan penghargaan keapada keyakinan dan kultur lain, toleransi, tidak ekstrim, tidak anarkis, dan mau menerima perbedaan dengan tetap meyakini kebenaran keyakinan agama sendiri.[3]

Penulisan  ini bermaksud untuk mengidentifikasi nilai-nilai maqasid syariah dalam empat indikator moderasi agama yang dicetuskan oleh Kemenag RI. Mengingat eksistensi Islam sebagai bagian agama terbesar di Indonesia memungkinkan varian ajarannya menjadi bagian dari landasan dalam perumusan empat indikator moderasi beragama tersebut.

 

  II.     Pengertian Moderasi Beragama Dan Maqashid Syariah

1.    Pengertian Moderasi Beragama

Kata moderasi berasal dari kata latin yaitu moderattio, yang artinya adalah kesedangan (tidak kelebihan dan tidak kekurangan).[4] Kata tersebut mengandung makna penguasaan diri dari sikap sangat kelebihan dan sikap kekurangan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata moderasi mengandung dua pengertian, yaitu pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman, sedangkan kata moderat adalah selalu menghindarkan perilaku yang ekstrem dan berkecendrungan ke arah dimensi jalan tengah.[5] Maka ketika kata moderasi disandingkan dengan kata beragama, menjadi moderasi beragama, istilah tersebut berarti merujuk pada sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari keekstreman dalam praktik beragama.

Dalam kamus-kamus bahasa Arab kata wasathiyyah diambil dari kata wasatha yang mempunyai banyak makna. Dalam al-Mujam al-Wasith yang disusun oleh Lembaga Bahasa Arab Mesir mengemukakan “Wasath sesuatu adalah apa yang terdapat di antara kedua ujungnya dan ia adalah bagian darinya, juga berarti pertengahan dari segala sesuatu. Jika dikatakan: syaiun wasat maka itu berarti sesuatu itu antara baik dan buruk. Kata ini juga berarti apa yang dikandung oleh kedua sisinya walaupun tidak sama. Kata wasath juga berarti adil dan baik. (Ini disifatkan tunggal atau bukan tunggal). Dalam Al-Quran, “dan demikian kami jadikan kamu ummatan wasathan”, dalam arti penyandang keadilan atau orang-orang baik. Kalau Anda berkata, “Dia dari wasath kaumnya”, maka itu berarti dia termasuk yang terbaik dari kaumnya. Kata ini juga bermakna lingkaran sesuatu atau lingkungannya.[6]

Dalam konteks uraian tentang moderasi beragama, para pakar sering kali merujuk pada ayat Al-Baqarah (2) ayat 143, yaitu:

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

Artinya: “Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat (Baitulmaqdis) yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya, kecuali agar Kami mengetahui (dalam kenyataan) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sesungguhnya (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”.[7]

Kalimat وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا dijadikan sebagai titik tolak uraian tentang moderasi beragama dalam pandangan Islam sehingga moderasi dinamakan dengan wasathiyyah. Ibnu Jarir Ath-Thabari menjelaskan dalam tafsirnya dari segi penampilan ayat, kata wasath berarti adil karena itulah yang dimaksud dengan kata baik, sebab manusia yang baik adalah yang ‘udul (adil atau dapat dipercaya).[8]

Bertitik tolak pada ayat ini Fakhruddin Ar-Razi mengemukakan makna-makna berikut menyangkut kata dzalika (itu) yang dipersamakan dengan wasathan.

A.    Dzalika (itu) menunjuk pada makna hidayat, yakni sebagaimana Kami telah menganugerahi kalian hidayat (yang dilukiskan di atas sebagai menuju jalan lebar yang lurus) maka demikian itu juga Kami anugerahi kalian dengan menjadikan kalian ummatan wasathan.[9]

B.     Menunjuk ke kiblat (di Mekah) sehingga penggalan ayat itu berarti: Sebagaimana Kami telah memberi kalian petunjuk untuk mengarah kepada kiblat di Mekah yang merupakan pertengahan, maka demikian juga Kamijadikan kalian umat pertengahan.[10]

C.     Menunjuk ke uraian yang tercantum sebelumnya pada ayat selanjutnya 130 dalam surah Al-Baqarah, yang menyatakan tentang Nabi Ibrahim as.: ولقد اصطفينا في الدنيا (Sungguh Kami telah memilihnya di dunia) sehingga dalam pandangan ketiga ini ayat di atas bagaikan menyatakan bahwa sebagaimana Kami telah memilih Nabi Ibrahim as. maka demikian itu juga Kami telah memilih kamu, wahai umat Islam, sebagai ummatan wasathan. Di sisi persamaan, kesepertian itu pada kesamaan dalam kepemilihan.[11]

D.    Menunjuk kepada firman-Nya pada ayat 142 Al-Bagarah terdapat kata:المشرق الْمَغْربُ ‏لله (milik Allah Timur dan Barat). Dalam arti, semua arah sama semuanya merupakan milik Allah dan di bawah kuasa-Nya. Namun demikian ada di antaranya yang dianugerahi kemuliaan dan penghormatan berlebih sehingga dijadikannya kiblat sebagai anugerah yang bersumber dari-Nya, maka seperti itu juga hamba-hamba-Nya seluruhnya. Mereka semua sama dari segi kehambaan kepada-Nya, tetapi dia mengkhususkan umat Islam dengan penambahan kemuliaan dan penghormatan (yakni menjadi ummatan wasathan) sebagai anugerah dari-Nya bukannya kewajiban atas-Nya. Pendapat inilah yang dianut oleh Ar-Razi.[12]

E.     Kata kadzalika (ولكذلك) sebagaimana halnya kata ganti tidak menunjuk sesuatu yang disebut sebelumnya kalau hal itu telah populer dan itu menurut Ar-Razi terdapat dalam sekian banyak ayat Al-Ouran seperti firman-Nya dalam QS. Al-Qadar (97): اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْر yang artinya Kami telah menurunkannya pada malam Lailatul Qadar. Kata “nya” pada awal ayat ini tidak didahului dengan kata yang menunjuk apa/siapa. Ini karena konteksnya cukup jelas. Demikian juga dengan QS. Al-Bagarah (2): 143.[13]

2.    Pengertian Maqashid Syariah

Kata maqashid (مقاصد)adalah bentuk jamak dari bentuk tunggal maqshid (مقصد) dan maqshad (مقصد)keduanya berupa mashdar mimi (ميمي مصدر) yang punya bentuk fi’il madhi qashada ( (قصد. Secara bahasa maqshid ini punya beberapa arti, diantaranya al-i’timad (االعتماد), al-um (األم), ityan asysyai’ (الشيء إتيان), at-tawajjuh (التوجه) dan juga istiqamatu at-tariq (استقامة الطريق). Sedangkan kata syariah secara bahasa bisa kita awali dari kamus-kamus bahasa arab bermakna addin (الدين), al-millah (الملة), al-minhaj (المنهاج), at-thariqah (الطريقة), dan as-sunnah (السنة).[14]

Setelah kita ketahui makna masing-masing kata, maka sekarang kita akan membahas makna dan pengertian maqashid syariah itu sendiri, sebagai sebuah nama sebuah ilmu dari ilmu-ilmu keislaman. Meski sering menyinggung hal yang terkait dengan maqashid syariah, namun para ulama klasik terdahulu seperti Al-Juwaini, Al-Ghazali dan Asy-Syathibi, namun umumnya mereka tidak memberikan definisi Maqashid Syariah dengan lengkap. Al-Ghazali misalnya, di dalam Al-Mustashfa hanya menyebutkan ada lima maqashid syariah, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Namun tidak menyebutkan definisinya. Memang di dalam kitabnya yang lain, Syifa’ Al-Ghalil, ada sedikit menyebutkan definisinya, namun belum mencakup keseluruhannya. Demikian juga dengan Asy-Syatibi sebagaimana yang dikomentari oleh Raisuni bahwa As-Syatibi tidak secara tegas membuatkan definisi maqashid syariah, meski sangat mendukungnya, disebabkan karena sudah dianggap jelas.[15]

Di antara ulama modern adalah Ibnu Asyur. Maqashid syariah beliau definisikan ada dua macam, yaitu umum dan khusus. Definisi Maqashid Syariah yang umum menurut Ibnu Asyur adalah :

المعان والحكم الملحوظة  للشارع  في جميع أحوال التشي ع أو معظمها

Sejumlah makna dan hikmah yang disimpulkan bagi pembuat syariah pada semua syariah atau sebagian besarnya. Sedangkan definisi khusus adalah:

الكيفيات املقصودة للشارع   لتحقيق مقاصد الناس النافعة أو حلفظ مصلحتهم  العامة ِف تصرفاته اخلاصة

Hal-hal yang dikehendaki syari’ (Allah) untuk merealisasikan tujuan-tujuan manusia yang bermanfaat, atau untuk memelihara kemaslahatan umum mereka dalam tindakantindakan mereka secara khusus.[16]

 

III.          Nilai-Nilai Maqashid Syariah Dalam Empat Indikator Moderasi Beragama Di Indonesia

Pentingnya pengarustamaan nilai-nilai moderasi beragama dalam kehidupan bernegara di Indonesia yang majemuk mendapat perhatian serius dari pemerintah. Hal demikian telah mendorong Kementrian Agama Republik Indonesia pada tahun 2019 merumuskan empat indikator moderasi beragama di Indonesia. Keempat indikator moderasi beragama tersebut, antara lain komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan akomodatif terhadap tradisi lokal. Empat indikator tersebut dituliskan melalui sebuah buku yang diterbitkannya berjudul moderasi beragama. Keempat indikator tersebut diharapakan dapat menjadi tolak ukur atau baromater untuk mengukur sejauh mana paham maupun sikap sosial beragama bagi seluruh umat beragama di Indonesia menunjukan karakter moderat, yakni tidak ekstrem kiri maupunn kanan.[17]

Namun pengarustamaan pelbagai nilai moderasi beragama tersebut dalam ranah praksis di masyarakat tidak selamanya disambut hangat, yakni terdapat stigma buruk pada sebagian umat Islam yang menilai moderasi beragama merupakan bentuk liberalisasi maupun sekulerisasi paradigma dan sikap keberagaman yang akan menjadikan kecenderungan umat beragama akan mendikotomikan ajaran agama dengan kehidupan sosial bernegara. Padahal masyarakat Indonesia memiliki modal sosial budaya maupun agama yang kuat dan sinergis dalam mewujudkan karakter bangsa yang moderat, terlebih nilai-nilai ajaran dalam Islam sebagai salah satu agama yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia, baik yang ditanamkan melalui jalur lembaga pendidikan Islam (Pesantren) maupun lembaga sosial keagamaan.[18]

Berikut ini adalah uraian tentang dimensi nilai nilai maqashid syariah yang dapat ditemukan dalam empat indikator moderasi beragama yang dirumuskan oleh Kemenag RI, meliputi komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan akomodatif terhadap tradisi lokal.

1.      Dimensi Nilai Hifz Waton dalam Indikator Komitmen Kebangsaaan

Keberadaan sikap komitmen sebagai bagian indikator moderasi beragama dalam perspektif maqasid shariah dapat dimaksudkan sebagai manifestasi dari hifz waton (menjaga keselamatan negara). Pada ranah praksisnya, hifz waton tersebut dapat menjadi paradigma dalam segala bentuk upaya untuk menjaga ketertiban, keamanan dan kedamaian kehidupan bernegara di Indonesia. Hal ini dapat diwujudkan melalui paham maupun sikap umat beragama di Indonesia. Dengan terjaganya kemaslahatan kehidupan bernegera, maka juga berdampak positif dalam terpeliharanya nilai-nilai maqasid shariah lainnya bagi umat beragama baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial dalam kehidupan bernegara. Secara normatif, keberdaaan dimensi hifz waton dalam indikator komitmen kebangsaan juga paralel dengan sikap nasionalisme Nabi Ibrahim yang diuraikan dalam Al-Quran, yakni ia mendoakan negaranya agar dirahmati dan penduduknya senantiasa diberikan iman dan rezki yang berlimpah.[19]

2.      Dimensi Nilai Hifz ‘Ird dalam Indikator Anti Radikalisme

Identifikasi dimensi nilai hifz ‘ird dalam indikator anti radikalisme merupakan bentuk perluasan dimensi kemaslahatan yang termuat dalam nilai maqasid klasik berupa hifz nafs. Jika dimasukan dalam klasifikasi Jasser Auda, maka keberadaan dimensi hifz ird dalam indikator anti radikalisme masuk dalam kategori maqasid khas (khusus). Pernyataan demikian disebabkan hifz ‘ird dapat diposisikan sebagai bentuk perluasan orientasi kemaslahatan hukum Islam yang dapat ditemukan pada cabang dari maqasid khusus, yakni hifz nafs. Dari sini dapat dikatakan bahwa dimensi hifz ‘ird yang termuat dalam indikator anti radikalisme dapat menjadi landasan paradigma maupun sikap sosial keberagamaan yang moderat dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian di tengah kemajemukan umat beragama di Indonesia.[20]

3.      Dimensi Nilai Hifz Ummah dalam Indikator Toleransi dan Akomodatif Terhadap Budaya Lokal.

Maksud ummah dalam hifz ummah dapat mengacu pada arti secara bahasa sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Quran. Kata ummah mempunyai wilayah cakupan arti yang luas. Pertama, kata ummah yang disematkan kepada seluruh makhluk tuhan sebagaimana keterangan dalam firman Allah QS. Al-An’am ayat 38. Kedua, kata ummah berarti umat manusia secara keseluruhan sebagaimana keterangan dalam firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 213. Ketiga, kata ummah berarti satu komunitas manusia sebagaimana keterangan dalam firman Allah QS. Al-Anbiya ayat 92. Dimensi nilai hifz waton dalam indikator komitmen kebangsaan, identifikasi dimensi nilai hifz ummah dalam indikator toleransi dan akomodatif terhadap budaya lokal merupakan bentuk perluasan dimensi kemaslahatan yang termuat dalam nilai maqasid klasik. Oleh sebab itu, hifz ummah dalam kedua indicator moderasi beragama tersebut dapat dimaksudkan ke dalam klasifikasi Auda yang disebut dengan istilah maqasid am (umum) karena kemaslahatan hukum yang dapat meliputi mengakomodir pelbagai maqasid shariah secara umum, seperti proteksi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.[21]

Terlepas dari dimensi nilai-nilai maqashid syariah dalam empat indikator moderasi beragama sebagaimana di atas, penting kita sadari bahwa dalam ranah praksisnya, pengarusutamaan moderasi beragama dalam kehidupan masyarakat Indonesia tidak semudah yang dibayangkan, melainkan membutuhkan perjuangan seluruh elemen masyarakat maupun pemerintah, terlebih pentingnya pembentukan karakter individu melalui nilai-nilai agama dan sosial bangsa yang moderat pada pelbagai instansi pendidikan di Indonesia. Upaya tersebut juga harus diiringi dengan menjadikannya terintegrasi ke dalam sistem perencanaan pembangunan Indonesia jangka menengah dan jangka panjang, agar pelbagai program yang dijalankan mendapat dukungan oleh seluruh masyarakat Indonesia.

IV.     Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan inti penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat dimensi nilai-nilai maqasid syariah dalam empat indikator moderasi beragama di Indonesia. Pertama, dimensi nilai hifz waton (menjaga kemaslahatan negara) dalam indikator sikap komitmen kebangsaan. Hifz waton dapat menjadi paradigma dalam segala bentuk upaya untuk menjaga ketertiban, keamanan dan kedamaian kehidupan bernegara di Indonesia. Dengan terjaganya kemaslahatan kehidupan bernegera, maka juga berdampak positif dalam terpeliharanya nilainilai maqasid shariah lainnya bagi umat beragama baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Kedua, dimensi nilai hifz ‘ird (menjaga kemaslahatan kehormatan dan martabat manusia) dalam indikator anti radikalisme. Manifestasi hifz ‘irdi dapat sejalan dengan pelbagai upaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, tidak terkecuali keselamatan jiwa manusia (hifz nafs). Ketiga dimensi nilai hifz ummah dalam indikator toleransi dan akomodatif terhadap budaya lokal. Manifestasi hifz ummah dalam sikap toleransi dan akomodatif terhadap keragaman budaya lokal Indonesia akan dapat menunjukan ajaran universal Islam, yakni rahmatan lil alamin (kasih sayang kepada kehidupan alam semesta).


 


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemah Kemenag in microsof office word 2019

Najma, Dinar Bela Ayu, dan Syamsul, Bakri, Pendidikan Moderasi Beragama Dalam Penguatan Wawasan Kebangsaan, Journal of Multidisciplinary Studies, Vol 5, No 2, Tahun 2021.

Nurdin, Fauziah, Moderasi Beragama menurut Al-Quran dan Hadist, Jurnal Ilmiah Al Mu’ashirah, Vol. 18, No 1, Tahun 2021.

Sarwat, Ahmat, Maqashid Syariah, Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2019.

Shihab, M. Quraish, Wasathiyyah, Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama, Tanggerang Selatan: Lentera Hati, 2020.

Siswanto, Eko dan Islamy, Athoillah, Fikih Moderasi Beragama dalam Kehidupan Bernegara di Indonesia, Jurnal Al-Adalah: Jurnal Hukum dan Politik Islam, Vol. 7 No. 2, Tahun 2022.

Wahyudi, Dedi, dan Kurniasih, Novita Literasi Moderasi Beragama Sebagai Reaktualisasi Jihad Milenial Era 4.0, Jurnal Moderasi Beragama, Vol 1, No 1, Tahun 2021.

 

 



[1]Eko Siswanto dan Athoillah Islamy, Fikih Moderasi Beragama dalam Kehidupan Bernegara di Indonesia, Jurnal Al-Adalah: Jurnal Hukum dan Politik Islam, Vol. 7 No. 2, Tahun 2022, hal. 199

[2]Ibid., hal. 200

[3]Dinar Bela Ayu Najma, dan Syamsul Bakri, Pendidikan Moderasi Beragama Dalam Penguatan Wawasan Kebangsaan, Journal of Multidisciplinary Studies, Vol 5, No 2, Tahun 2021, hal. 423

[4]Dedi Wahyudi, Novita Kurniasih, “Literasi Moderasi Beragama Sebagai Reaktualisasi Jihad Milenial Era 4.0”, Jurnal Moderasi Beragama, Vol 1, No 1, Tahun 2021, hal. 27

[5]Fauziah Nurdin, “Moderasi Beragama menurut Al-Qur’an dan Hadist”, Jurnal Ilmiah Al Mu’ashirah, Vol. 18, No 1, Tahun 2021, hal. 61

[6]M. Quraish Shihab, Wasathiyyah, Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama, (Tanggerang Selatan:Lentera Hati, 2020), hal. 2

[7]Al-Qur’an dan Terjemah Kemenag in microsof office word 2019

[8]M. Quraish Shihab, Wasathiyyah, Wawasan Islam tentang Moderasi..., hal. 7

[9]Ibid., hal. 9

[10]Ibid.

[11]Ibid.

[12]M. Quraish Shihab, Wasathiyyah, Wawasan Islam tentang Moderasi..., hal. 10

[13]Ibid.

[14]Ahmat Sarwat, Maqashid Syariah, (Jakarta:Rumah Fiqih Publishing, 2019), hal. 10

[15]Ahmat Sarwat, Maqashid Syariah, (Jakarta..., hal. 17

[16]Ibid., hal. 19

[17]Eko Siswanto dan Athoillah Islamy, Fikih Moderasi..., hal. 207

[18]Ibid., hal. 208

[19]Eko Siswanto dan Athoillah Islamy, Fikih Moderasi..., hal. 209

[20]Ibid,. hal. 211

[21]Eko Siswanto dan Athoillah Islamy, Fikih Moderasi..., hal. 214


logoblog

Thanks for reading NILAI-NILAI MAQASHID SYARIAH DALAM EMPAT INDIKATOR MODERASI BERAGAMA DI INDONESIA

Previous
« Prev Post

No comments:

Post a Comment