Nilai-Nilai Maqashid Syariah dalam
Empat Indikator Moderasi Beragama di Indonesia
I.
Pendahuluan
Fenomena radikalisme atas nama agama di
Indonesia telah banyak menyebabkan krisis keamanan nasional yang menjadi
perhatian serius pemerintah untuk menanggulanginya. Merespons fenomena
tersebut, Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) pada tahun 2019
menerbitkan buku berjudul “Moderasi Beragama”. Dalam buku tersebut, diuraikan
empat indikator yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi paradigma maupun
sikap keberagamaan yang moderat di Indonesia, antara lain komitmen kebangsaan,
toleransi, antikekerasan, dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal.[1]
Namun fakta empiris menunjukan pengarustamaan
nilai-nilai moderasi beragama tidak selamanya disambut positif oleh masyarakat
Indonesia. Terdapat stigma buruk pada sebagian umat Islam yang menilai
pengarustamaan moderasi beragama merupakan bentuk liberalisasi maupun
sekulerisasi yang akan memisahkan nilai-nilai ajaran agama dengan kehidupan
sosial bermasyarakat maupun bernegara. Stigma buruk berupa stigma liberalisme
pemikiran Islam tersebut juga pernah disematkan kepada upaya pembaharuan hukum
Islam yang dimotori oleh sekelompok intelektual muslim indonesia pasca era
reformasi.[2]
Moderasi juga dapat diartikan kemampuan
beradaptasi dan tidak kaku. Paham Islam moderat berupaya beradaptasi dan
berkompromi dengan situasi dan kondisi riil di masyarakat tanpa harus keluar
dari prinsip dasar agama. Oleh karena itu sebagai perwujudan dari moderasi
beragama adalah selalu mengedepankan penghargaan keapada keyakinan dan kultur
lain, toleransi, tidak ekstrim, tidak anarkis, dan mau menerima perbedaan
dengan tetap meyakini kebenaran keyakinan agama sendiri.[3]
Penulisan ini bermaksud untuk
mengidentifikasi nilai-nilai maqasid syariah dalam empat indikator moderasi
agama yang dicetuskan oleh Kemenag RI. Mengingat eksistensi Islam sebagai
bagian agama terbesar di Indonesia memungkinkan varian ajarannya menjadi bagian
dari landasan dalam perumusan empat indikator moderasi beragama tersebut.
II.
Pengertian Moderasi Beragama Dan Maqashid Syariah
1. Pengertian Moderasi Beragama
Kata moderasi berasal dari kata latin yaitu moderattio,
yang artinya adalah kesedangan (tidak kelebihan dan tidak kekurangan).[4]
Kata tersebut mengandung makna penguasaan diri dari sikap sangat kelebihan dan
sikap kekurangan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata moderasi
mengandung dua pengertian, yaitu pengurangan kekerasan dan penghindaran
keekstreman, sedangkan kata moderat adalah selalu menghindarkan perilaku yang
ekstrem dan berkecendrungan ke arah dimensi jalan tengah.[5]
Maka ketika kata moderasi disandingkan dengan kata beragama, menjadi moderasi
beragama, istilah tersebut berarti merujuk pada sikap mengurangi kekerasan,
atau menghindari keekstreman dalam praktik beragama.
Dalam kamus-kamus bahasa Arab kata wasathiyyah
diambil dari kata wasatha yang mempunyai banyak makna. Dalam al-Mujam
al-Wasith yang disusun oleh Lembaga Bahasa Arab Mesir mengemukakan “Wasath
sesuatu adalah apa yang terdapat di antara kedua ujungnya dan ia adalah bagian
darinya, juga berarti pertengahan dari segala sesuatu. Jika dikatakan: syaiun
wasat maka itu berarti sesuatu itu antara baik dan buruk. Kata ini juga
berarti apa yang dikandung oleh kedua sisinya walaupun tidak sama. Kata wasath
juga berarti adil dan baik. (Ini disifatkan tunggal atau bukan tunggal). Dalam
Al-Quran, “dan demikian kami jadikan kamu ummatan wasathan”, dalam arti
penyandang keadilan atau orang-orang baik. Kalau Anda berkata, “Dia dari wasath
kaumnya”, maka itu berarti dia termasuk yang terbaik dari kaumnya. Kata ini juga
bermakna lingkaran sesuatu atau lingkungannya.[6]
Dalam konteks uraian tentang moderasi
beragama, para pakar sering kali merujuk pada ayat Al-Baqarah (2) ayat 143,
yaitu:
وَكَذٰلِكَ
جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ
وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ
الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ
مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى
الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ
اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: “Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan)
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat
(Baitulmaqdis) yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya, kecuali agar Kami
mengetahui (dalam kenyataan) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik
ke belakang. Sesungguhnya (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi
orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan
imanmu. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada
manusia”.[7]
Kalimat وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا dijadikan sebagai titik tolak uraian tentang
moderasi beragama dalam pandangan Islam sehingga moderasi dinamakan dengan wasathiyyah.
Ibnu Jarir Ath-Thabari menjelaskan dalam tafsirnya dari segi penampilan ayat,
kata wasath berarti adil karena itulah yang dimaksud dengan kata baik,
sebab manusia yang baik adalah yang ‘udul (adil atau dapat dipercaya).[8]
Bertitik tolak pada ayat ini Fakhruddin Ar-Razi mengemukakan makna-makna
berikut menyangkut kata dzalika (itu) yang dipersamakan dengan wasathan.
A.
Dzalika (itu) menunjuk pada makna hidayat, yakni sebagaimana
Kami telah menganugerahi kalian hidayat (yang dilukiskan di atas sebagai menuju
jalan lebar yang lurus) maka demikian itu juga Kami anugerahi kalian dengan
menjadikan kalian ummatan wasathan.[9]
B.
Menunjuk
ke kiblat (di Mekah) sehingga penggalan ayat itu berarti: Sebagaimana Kami
telah memberi kalian petunjuk untuk mengarah kepada kiblat di Mekah yang
merupakan pertengahan, maka demikian juga Kamijadikan kalian umat pertengahan.[10]
C.
Menunjuk
ke uraian yang tercantum sebelumnya pada ayat selanjutnya 130 dalam surah Al-Baqarah,
yang menyatakan tentang Nabi Ibrahim as.: ولقد اصطفينا في الدنيا (Sungguh Kami telah memilihnya di dunia) sehingga dalam
pandangan ketiga ini ayat di atas bagaikan menyatakan bahwa sebagaimana Kami
telah memilih Nabi Ibrahim as. maka demikian itu juga Kami telah memilih kamu,
wahai umat Islam, sebagai ummatan wasathan. Di sisi persamaan, kesepertian itu
pada kesamaan dalam kepemilihan.[11]
D.
Menunjuk
kepada firman-Nya pada ayat 142 Al-Bagarah terdapat kata:المشرق الْمَغْربُ لله (milik Allah Timur dan Barat). Dalam arti, semua arah
sama semuanya merupakan milik Allah dan di bawah kuasa-Nya. Namun demikian ada
di antaranya yang dianugerahi kemuliaan dan penghormatan berlebih sehingga
dijadikannya kiblat sebagai anugerah yang bersumber dari-Nya, maka seperti itu
juga hamba-hamba-Nya seluruhnya. Mereka semua sama dari segi kehambaan
kepada-Nya, tetapi dia mengkhususkan umat Islam dengan penambahan kemuliaan dan
penghormatan (yakni menjadi ummatan wasathan) sebagai anugerah dari-Nya
bukannya kewajiban atas-Nya. Pendapat inilah yang dianut oleh Ar-Razi.[12]
E.
Kata
kadzalika (ولكذلك) sebagaimana
halnya kata ganti tidak menunjuk sesuatu yang disebut sebelumnya kalau hal itu
telah populer dan itu menurut Ar-Razi terdapat dalam sekian banyak ayat
Al-Ouran seperti firman-Nya dalam QS. Al-Qadar (97): اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْر yang artinya Kami telah menurunkannya pada malam Lailatul
Qadar. Kata “nya” pada awal ayat ini tidak didahului dengan kata yang menunjuk
apa/siapa. Ini karena konteksnya cukup jelas. Demikian juga dengan QS.
Al-Bagarah (2): 143.[13]
2.
Pengertian
Maqashid
Syariah
Kata maqashid (مقاصد)adalah
bentuk jamak dari bentuk tunggal maqshid (مقصد)
dan maqshad (مقصد)keduanya berupa mashdar mimi (ميمي مصدر) yang
punya bentuk fi’il madhi qashada ( (قصد. Secara
bahasa maqshid ini punya beberapa arti, diantaranya al-i’timad (االعتماد), al-um
(األم), ityan
asysyai’ (الشيء إتيان), at-tawajjuh (التوجه) dan
juga istiqamatu at-tariq (استقامة الطريق). Sedangkan
kata syariah secara bahasa bisa kita awali dari kamus-kamus bahasa arab
bermakna addin (الدين), al-millah (الملة), al-minhaj
(المنهاج), at-thariqah (الطريقة),
dan as-sunnah (السنة).[14]
Setelah kita ketahui makna masing-masing kata,
maka sekarang kita akan membahas makna dan pengertian maqashid syariah itu
sendiri, sebagai sebuah nama sebuah ilmu dari ilmu-ilmu keislaman. Meski sering
menyinggung hal yang terkait dengan maqashid syariah, namun para ulama klasik terdahulu
seperti Al-Juwaini, Al-Ghazali dan Asy-Syathibi, namun umumnya mereka tidak memberikan
definisi Maqashid Syariah dengan lengkap. Al-Ghazali misalnya, di dalam
Al-Mustashfa hanya menyebutkan ada lima maqashid syariah, yaitu memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Namun tidak menyebutkan definisinya. Memang
di dalam kitabnya yang lain, Syifa’ Al-Ghalil, ada sedikit menyebutkan
definisinya, namun belum mencakup keseluruhannya. Demikian juga dengan
Asy-Syatibi sebagaimana yang dikomentari oleh Raisuni bahwa As-Syatibi tidak secara
tegas membuatkan definisi maqashid syariah, meski sangat mendukungnya,
disebabkan karena sudah dianggap jelas.[15]
Di antara ulama modern adalah Ibnu Asyur.
Maqashid syariah beliau definisikan ada dua macam, yaitu umum dan khusus.
Definisi Maqashid Syariah yang umum menurut Ibnu Asyur adalah :
المعان والحكم الملحوظة
للشارع في جميع أحوال التشي ع أو
معظمها
Sejumlah makna dan hikmah yang disimpulkan
bagi pembuat syariah pada semua syariah atau sebagian besarnya. Sedangkan
definisi khusus adalah:
الكيفيات
املقصودة للشارع لتحقيق مقاصد الناس
النافعة أو حلفظ مصلحتهم العامة ِف
تصرفاته اخلاصة
Hal-hal yang dikehendaki syari’ (Allah) untuk merealisasikan tujuan-tujuan
manusia yang bermanfaat, atau untuk memelihara kemaslahatan umum mereka dalam
tindakantindakan mereka secara khusus.[16]
III.
Nilai-Nilai Maqashid Syariah Dalam Empat Indikator Moderasi Beragama
Di Indonesia
Pentingnya pengarustamaan nilai-nilai moderasi
beragama dalam kehidupan bernegara di Indonesia yang majemuk mendapat perhatian
serius dari pemerintah. Hal demikian telah mendorong Kementrian Agama Republik Indonesia
pada tahun 2019 merumuskan empat indikator moderasi beragama di Indonesia.
Keempat indikator moderasi beragama tersebut, antara lain komitmen kebangsaan,
toleransi, anti kekerasan, dan akomodatif terhadap tradisi lokal. Empat
indikator tersebut dituliskan melalui sebuah buku yang diterbitkannya berjudul
moderasi beragama. Keempat indikator tersebut diharapakan dapat menjadi tolak
ukur atau baromater untuk mengukur sejauh mana paham maupun sikap sosial
beragama bagi seluruh umat beragama di Indonesia menunjukan karakter moderat,
yakni tidak ekstrem kiri maupunn kanan.[17]
Namun pengarustamaan pelbagai nilai moderasi
beragama tersebut dalam ranah praksis di masyarakat tidak selamanya disambut
hangat, yakni terdapat stigma buruk pada sebagian umat Islam yang menilai
moderasi beragama merupakan bentuk liberalisasi maupun sekulerisasi paradigma
dan sikap keberagaman yang akan menjadikan kecenderungan umat beragama akan
mendikotomikan ajaran agama dengan kehidupan sosial bernegara. Padahal
masyarakat Indonesia memiliki modal sosial budaya maupun agama yang kuat dan
sinergis dalam mewujudkan karakter bangsa yang moderat, terlebih nilai-nilai
ajaran dalam Islam sebagai salah satu agama yang dianut sebagian besar
masyarakat Indonesia, baik yang ditanamkan melalui jalur lembaga pendidikan
Islam (Pesantren) maupun lembaga sosial keagamaan.[18]
Berikut ini adalah uraian tentang dimensi
nilai nilai maqashid syariah yang dapat ditemukan dalam empat indikator
moderasi beragama yang dirumuskan oleh Kemenag RI, meliputi komitmen
kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan akomodatif terhadap tradisi lokal.
1. Dimensi Nilai Hifz Waton dalam Indikator Komitmen
Kebangsaaan
Keberadaan sikap komitmen sebagai bagian indikator moderasi
beragama dalam perspektif maqasid shariah dapat dimaksudkan sebagai manifestasi
dari hifz waton (menjaga keselamatan negara). Pada ranah praksisnya, hifz
waton tersebut dapat menjadi paradigma dalam segala bentuk upaya untuk
menjaga ketertiban, keamanan dan kedamaian kehidupan bernegara di Indonesia.
Hal ini dapat diwujudkan melalui paham maupun sikap umat beragama di Indonesia.
Dengan terjaganya kemaslahatan kehidupan bernegera, maka juga berdampak positif
dalam terpeliharanya nilai-nilai maqasid shariah lainnya bagi umat beragama
baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial dalam kehidupan bernegara.
Secara normatif, keberdaaan dimensi hifz waton dalam indikator komitmen
kebangsaan juga paralel dengan sikap nasionalisme Nabi Ibrahim yang diuraikan
dalam Al-Quran, yakni ia mendoakan negaranya agar dirahmati dan
penduduknya senantiasa diberikan iman dan rezki yang berlimpah.[19]
2. Dimensi Nilai Hifz ‘Ird dalam Indikator Anti Radikalisme
Identifikasi dimensi nilai hifz ‘ird
dalam indikator anti radikalisme merupakan bentuk perluasan dimensi
kemaslahatan yang termuat dalam nilai maqasid klasik berupa hifz nafs. Jika dimasukan dalam klasifikasi Jasser Auda, maka keberadaan
dimensi hifz ird dalam indikator anti radikalisme masuk dalam kategori
maqasid khas (khusus). Pernyataan demikian disebabkan hifz ‘ird dapat
diposisikan sebagai bentuk perluasan orientasi kemaslahatan hukum Islam yang
dapat ditemukan pada cabang dari maqasid khusus, yakni hifz nafs. Dari
sini dapat dikatakan bahwa dimensi hifz ‘ird yang termuat dalam
indikator anti radikalisme dapat menjadi landasan paradigma maupun sikap sosial
keberagamaan yang moderat dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian di
tengah kemajemukan umat beragama di Indonesia.[20]
3. Dimensi Nilai Hifz Ummah dalam Indikator Toleransi dan
Akomodatif Terhadap Budaya Lokal.
Maksud ummah dalam hifz ummah dapat mengacu pada arti
secara bahasa sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Quran.
Kata ummah mempunyai wilayah cakupan arti yang luas. Pertama, kata ummah yang
disematkan kepada seluruh makhluk tuhan sebagaimana keterangan dalam firman
Allah QS. Al-An’am ayat 38. Kedua, kata ummah berarti umat
manusia secara keseluruhan sebagaimana keterangan dalam firman Allah QS.
Al-Baqarah ayat 213. Ketiga, kata
ummah berarti satu komunitas manusia sebagaimana
keterangan dalam firman Allah QS. Al-Anbiya ayat 92. Dimensi nilai hifz waton dalam indikator
komitmen kebangsaan, identifikasi dimensi nilai hifz ummah dalam indikator
toleransi dan akomodatif terhadap budaya lokal merupakan bentuk perluasan
dimensi kemaslahatan yang termuat dalam nilai maqasid klasik. Oleh sebab itu,
hifz ummah dalam kedua indicator moderasi beragama tersebut dapat dimaksudkan
ke dalam klasifikasi Auda yang disebut dengan istilah maqasid am (umum) karena
kemaslahatan hukum yang dapat meliputi mengakomodir pelbagai maqasid shariah
secara umum, seperti proteksi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.[21]
Terlepas dari dimensi nilai-nilai maqashid
syariah dalam empat indikator moderasi beragama sebagaimana di atas,
penting kita sadari bahwa dalam ranah praksisnya, pengarusutamaan moderasi
beragama dalam kehidupan masyarakat Indonesia tidak semudah yang dibayangkan,
melainkan membutuhkan perjuangan seluruh elemen masyarakat maupun pemerintah,
terlebih pentingnya pembentukan karakter individu melalui nilai-nilai agama dan
sosial bangsa yang moderat pada pelbagai instansi pendidikan di Indonesia.
Upaya tersebut juga harus diiringi dengan menjadikannya terintegrasi ke dalam
sistem perencanaan pembangunan Indonesia jangka menengah dan jangka panjang,
agar pelbagai program yang dijalankan mendapat dukungan oleh seluruh masyarakat
Indonesia.
IV. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan inti penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
terdapat dimensi nilai-nilai maqasid syariah dalam empat indikator moderasi
beragama di Indonesia. Pertama, dimensi nilai hifz waton (menjaga kemaslahatan
negara) dalam indikator sikap komitmen kebangsaan. Hifz waton dapat menjadi
paradigma dalam segala bentuk upaya untuk menjaga ketertiban, keamanan dan kedamaian
kehidupan bernegara di Indonesia. Dengan terjaganya kemaslahatan kehidupan
bernegera, maka juga berdampak positif dalam terpeliharanya nilainilai maqasid
shariah lainnya bagi umat beragama baik sebagai makhluk individu maupun makhluk
sosial. Kedua, dimensi nilai hifz ‘ird (menjaga kemaslahatan kehormatan dan
martabat manusia) dalam indikator anti radikalisme. Manifestasi hifz ‘irdi
dapat sejalan dengan pelbagai upaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, tidak terkecuali keselamatan jiwa manusia (hifz nafs). Ketiga
dimensi nilai hifz ummah dalam indikator toleransi dan akomodatif terhadap
budaya lokal. Manifestasi hifz ummah dalam sikap toleransi dan akomodatif
terhadap keragaman budaya lokal Indonesia akan dapat menunjukan ajaran universal
Islam, yakni rahmatan lil alamin (kasih sayang kepada kehidupan alam semesta).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemah Kemenag in microsof
office word 2019
Najma, Dinar Bela Ayu, dan Syamsul, Bakri, Pendidikan Moderasi Beragama
Dalam Penguatan Wawasan Kebangsaan, Journal of Multidisciplinary Studies,
Vol 5, No 2, Tahun 2021.
Nurdin, Fauziah, Moderasi Beragama menurut Al-Quran dan Hadist, Jurnal
Ilmiah Al Mu’ashirah, Vol. 18, No 1, Tahun 2021.
Sarwat, Ahmat, Maqashid Syariah,
Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2019.
Shihab, M. Quraish, Wasathiyyah, Wawasan Islam tentang Moderasi
Beragama, Tanggerang Selatan: Lentera Hati, 2020.
Siswanto, Eko dan Islamy, Athoillah, Fikih Moderasi Beragama dalam
Kehidupan Bernegara di Indonesia, Jurnal Al-Adalah: Jurnal Hukum dan Politik Islam,
Vol. 7 No. 2, Tahun 2022.
Wahyudi, Dedi, dan Kurniasih, Novita Literasi Moderasi Beragama Sebagai
Reaktualisasi Jihad Milenial Era 4.0, Jurnal Moderasi Beragama, Vol 1, No
1, Tahun 2021.
[1]Eko Siswanto dan Athoillah Islamy, Fikih Moderasi Beragama dalam
Kehidupan Bernegara di Indonesia, Jurnal
Al-Adalah: Jurnal Hukum dan Politik Islam, Vol. 7 No. 2, Tahun 2022, hal. 199
[2]Ibid., hal. 200
[3]Dinar Bela Ayu Najma, dan Syamsul Bakri, Pendidikan Moderasi Beragama
Dalam Penguatan Wawasan Kebangsaan, Journal of Multidisciplinary Studies,
Vol 5, No 2, Tahun 2021, hal. 423
[4]Dedi Wahyudi, Novita Kurniasih, “Literasi Moderasi Beragama Sebagai
Reaktualisasi Jihad Milenial Era 4.0”, Jurnal Moderasi Beragama, Vol 1, No
1, Tahun 2021, hal. 27
[5]Fauziah Nurdin, “Moderasi Beragama menurut Al-Qur’an dan Hadist”, Jurnal
Ilmiah Al Mu’ashirah, Vol. 18, No 1, Tahun 2021, hal. 61
[6]M. Quraish Shihab, Wasathiyyah, Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama,
(Tanggerang Selatan:Lentera Hati, 2020), hal. 2
[7]Al-Qur’an dan Terjemah Kemenag in microsof office word 2019
[8]M. Quraish Shihab, Wasathiyyah, Wawasan Islam tentang Moderasi...,
hal. 7
[9]Ibid., hal. 9
[10]Ibid.
[11]Ibid.
[12]M. Quraish Shihab, Wasathiyyah, Wawasan Islam tentang Moderasi...,
hal. 10
[13]Ibid.
[14]Ahmat Sarwat, Maqashid Syariah, (Jakarta:Rumah Fiqih Publishing,
2019), hal. 10
[15]Ahmat Sarwat, Maqashid Syariah, (Jakarta..., hal. 17
[16]Ibid., hal. 19
[17]Eko Siswanto dan Athoillah Islamy, Fikih Moderasi..., hal. 207
[18]Ibid., hal. 208
[19]Eko Siswanto dan Athoillah Islamy, Fikih Moderasi..., hal. 209
[20]Ibid,. hal. 211
[21]Eko Siswanto dan Athoillah Islamy, Fikih Moderasi..., hal. 214
No comments:
Post a Comment