KATA
PENGANTAR
Maha benar Allah SWT. dengan segala firman-Nya, melimpahkan nikmatNya kepada penduduk bumi dan langit, termasuk kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu mengalir kepada Nabi Muhamad SAW., keluarga, para sahabatnya, serta orang-orang yang senantiasa mengikuti sunnah beliau hingga hari kiamat.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam yang direpresentasikan oleh Al-Qur‟an dan hadis
memuat berbagai aturan dan hukum-hukum yang dapat dijadikan pedoman dalam berbagai
lini kehidupan. Pedoman tersebut tidak hanya berlaku pada hubungan moralitas
saja, namun juga mencakup interaksi sosial, seperti interaksi antara sesama
muslim, sesama umat beragama, dan interaksi dengan seluruh umat manusia. Dan
diantara persoalan yang timbul dari ini adalah ajaran jihad.
Jihad juga merupakan salah satu konsep Islam yang
paling sering dipahami, khususnya oleh kalangan para ahli dan pengamat Barat. Jihad
merupakan bagian integral wacana Islam sejak masa-masa awal muslim hingga
kontemporer. Pembicaraan tentang jihad dan konsep-konsep yang dikemukakan
sedikit atau banyak mengalami pergeseran dan perubahan sesuai dengan konteks
dan lingkungan masing-masing pemikir. Demikian sentralnya jihad dalam Islam
sehingga cukup beralasan jika kalangan khawarij menetapkanya sebagai rukun Islam
ke enam.
Pentingnya ajaran jihad antara lain tercermin dalam
Alquran seagai berikut:
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا
بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا وَجَاهَدُوْا بِاَمْوَالِهِمْ
وَاَنْفُسِهِمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الصّٰدِقُوْنَ
Artinya “Sesungguhnya orang-orang mukmin (yang
sebenarnya) hanyalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian
mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan
Allah. Mereka itulah orang-orang benar.”
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa itu Pengertian
Jihad?
2.
Ada
berapa macam jihad?
3.
Bagaimana
Jihad Perspektif Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk mengetahui
pengertian jihad.
2.
Untuk mengetahui macam macam jihad.
3.
Untuk mengetahui bagaimana Jihad Perspektif Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Jihad
Jihad menurut
Bahasa Bersumber dari kata al-juhdu, jihad memiliki arti lelah, sulit, dan
upaya. Makna syar’inya berarti mengeluarkan daya dan upaya melawan musuh untuk
mengajak mereka menuju agama yang benar. Secara etimologis jihad memang berasal
dari bahasa Arab yaitu (جاهد– جهادا - يجاهد)
yang memiliki pengertian mengerjakan sesuatu hingga merasa lelah dan
mencurahkan usaha satu sama lain. Lebih jauh lagi Imam An-Naisaburi
mendeskripsikan kata jihad menurut bahasa menjadi pencurahan segala tenaga
untuk mencapai maksud tertentu.[1]
Sedangkan dalam
pengertian syariat jihad adalah usaha dengan sungguh-sungguh untuk mengajak
orang yang tertutup hatinya dari jalan Allah agar menerima ajaran Allah. Jihad
juga bermakna melakukan pencurahan pikiran, kekuatan dan kemampuan secara sungguh-sungguh
dalam melawan musuh yang tercela, setan atau hawa nafsu.[2]
Makna jihad adalah
mengerahkan segenap kemampuan untuk memerangi orang-oramg kafir. Kata jihad
juga dimutlakkan untuk jihad terhadap jiwa (hawa nafsu), setan dan terhadap
orang-orang yang fasik.[3]
Istilah jihad
dalam banyak konteks berarti berperang, meskipun ada beberapa kata lain dalam
Bahasa arab yang lebih tidak mendua
dengan makna tindakan membuat perang seperti qital dan harb.
Dalam Alquran dan kebiasaan muslim, jihad sering di ikuti dengan ungkapan “fisabilillah”.
Penjelasan tentang perang terhadap musuh musuh komunitas muslim sebagai jihad fisabilillah
telah mensakralkan aktifitas yang biasa digunakan pada masa arab pra islam,
yakni perang suku. Dalam hadis juga sering memaknai jihad sebagai tindakan
berperang. Misalnya ada sekitar 199 rujukan bagi jihad dalam kitab Hadis Shahih
Al Bukhari yang semuanya mengasusmsikan jihad sebagai perang.[4]
Selain dari
berbagai kamus, makna jihad juga bisa ditelusuri dari beberapa ayat al-Qur’an.
Dalam al-Qur’an terdapat 36 ayat yang berkaitan dengan jihad, atau yang di
dalamnya mengandung unsur kata jihad. Kata jihad kemudian banyak digunakan
dalam arti peperangan (al-qital) untuk menolong agama dan kehormatan umat.
Namun bukan berarti jihad hanya sebatas peperangan. Kata jihad dalam al-Qur’an
memiliki beberapa makna, di antaranya jihad hawa nafsu, jihad dakwah dan
penjelasan, jihad dan sabar. Jihad yang semacam ini oleh Yusuf al-Qaradhawi
diistilahkan dengan istilah jihad sipil (al-jihad al-madani).[5]
Berikut ini adalah beberapa makna lain dari jihad yaitu:
1.
Jihad
bermakna perang
Pengertian
jihad sebagai perang dapat kita lihat pada Surat at-Tahrim ayat 9. Allah
berfirman:
يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ
وَالْمُنٰفِقِيْنَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْۗ وَمَأْوٰىهُمْ جَهَنَّمُۗ وَبِئْسَ
الْمَصِيْرُ
“Wahai Nabi,
berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap
keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah (neraka) Jahanam dan itulah
seburuk-buruk tempat kembali.”
Berdasarkan
redaksinya, ayat ini mudah untuk disalahartikan oleh orang-orang yang phobia
terhadap ajaran Islam. Hal ini karena pada redaksi “Perangilah orang-orang kafir”
jika dipahami sekilas, maka akan menggambarkan bahwa di manapun ada orang kafir
dan munafik, mereka harus diperangi. Terkait dengan kata jihâd dalam ayat ini,
M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah mengatakan bahwa orang kafir dan
munafik diperangi karena mereka sering mengotori lingkungan dengan ide dan
perbuatan-perbuatan mereka. Dalam penjelasan selanjutnya, ia mengatakan perang
terhadap orang kafir dan munafik dalam ayat ini adalah dengan hati, lisan,
harta, jiwa, dan kemampuan apapun yang dimiliki. Perintah ini ditujukan kepada
Nabi Muhammad SAW, dan agar diteladani oleh umatnya.[6]
2.
Jihad
bermakna moral
Adapun
pengertian jihad sebagai jihad moral bisa kita jumpai dalam Surat al-Ankabut
ayat 69. Allah berfirman:
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ
سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ ࣖ
“Orang-orang
yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami benar-benar
akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah
benar-benar bersama orang-orang yang berbuat kebaikan.”
Menurut Yusuf al-Qaradhawi jihad di
sini adalah jihad moral yang meliputi jihad terhadap hawa nafsu dan jihad
melawan godaan setan. Sehingga jihad perang tidak termasuk dalam ayat ini.[7]
3.
Jihad
bermakna dakwah
Jihad
dalam makna dakwah terdapat dalam Surat al-Nahl ayat 110. Allah berfirman:
هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً لَّكُمْ
مِّنْهُ شَرَابٌ وَّمِنْهُ شَجَرٌ فِيْهِ تُسِيْمُوْنَ
“Dialah yang
telah menurunkan air (hujan) dari langit untuk kamu. Sebagiannya menjadi
minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuhan yang dengannya kamu
menggembalakan ternakmu.”
Terkait dengan ayat
ini, Yusuf al-Qaradhawi berkomentar, bahwa jihad dalam ayat ini adalah jihad
dengan dakwah dan tabligh, serta jihad dalam menanggung penderitaan dan
kepayahan. Sebagaimana yang dilakukan Umat Muslim di Makkah sebelum berhijrah
ke Habasyah. Di Makkah, mereka mengalami penderitaan, penindasan, pengepungan,
dan penyiksaan.[8]
B.
Macam
Macam Jihad Beserta Syaratnya
Seperti yang sudah dipaparkan bahwa banyak yang salah
paham dalam memaknai jihad, orang orang biasanya lebih banyak memaknainya
sebagai perjuangan atau perlawanan bersenjata. Hal ini mungkin disebabkan karena
kata jihad tersebut seringkali muncul saat ada perang fisik atau perang
bersenjata. Tidak dipungkiri kalau perang fisik itu merupakan salah satu bentuk
jihad, tapi jangan sampai hal itu digeneralisir dalam segala aspek.[9] Maka
dari itu jihad secara umum meliputi beberapa perkara:
1.
Jihad
perbaikan diri (Jihadun nafs)
Jihadun nafs yaitu memerangi nafsu sendiri. Memerangi hawa nafsu disebut dalam Islam
sebagai jihadul akbar yaitu jihad yang paling besar dan paling berat. Jihadun
Nafs merupakan awal dari segala macam bentuk jihad. Termasuk dalam
memerangi kebodohan, kemalasan, iri, dengki, buruk sangka, ingin di hargai, kesombongan,
rakus, thama’ dan lain-lain.[10]
Pentingnya perintah jihadun nafs ini dijelaskan dalam
hadis Fuadhalah bin ‘Ubaid ra bahwa Rasulullah saw bersabda,
المجاهد
من جاهد نفسه في طاعة الله
“Seorang
mujahid adalah orang yang berjihad memperbaiki dirinya dalam ketaatan kepada
Allah”
Jihad melawan hawa nafsu memiliki empat tingkatan seperti
berikut ini:
a.
Jihad
yang memiliki hubungan dengan peningkatan kualitas intelektual baik ilmu
pengetahuan maupun ilmu keagamaan.
b.
Jihad
yang berkaitan dengan pengamalan dan ilmu yang dipelajari.
c.
Jihad
dalam mendakwahkan ilmu yang diperoleh; menyampaikan hujjah, penjelasan dan
penyampaian al-Quran.
d.
Jihad
dalam bersabar pada diri sendiri saat memperoleh cobaan dalam menjalani ketiga
tingkatan di atas.
2.
Jihad
melawan syaitan (Jihadusy Syaitan)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah ra berkata, perintah (Allah)
agar menjadikan setan sebagai musuh adalah peringatan dan keharusan untuk
melawannya. Karena ia seperti musuh yang tidak kenal lelah untuk menjerumuskan
manusia ke dalam kesesatan. Jihad melawan setan merupakan bentuk penolakan pada
godaan syahwat tubuh, keraguan hati dan akal pikiran yang dibawa setan untuk
menjauhkan manusia dari hidayah dan lebih tunduk kepada hawa nafsu dan
kedzaliman.[11]
Ada dua tingkatan jihad melawan setan sebagai berikut:
a.
Jihad
dengan cara menolak hal-hal syubhat dan keraguan-keraguan di dalam iman.
b.
Jihad
dengan cara menolak keinginan jahat dan pengaruh syahwat.
Jihad yang pertama dapat dilakukan dengan alat keyakinan
sementara yang kedua dapat dilakukan dengan kesabaran. Setan bersikeras
mengajak manusia kepada kekafiran, yaitu mengingkari segala macam ajaran dan
tuntunan yang Allah berikan kepada manusia melalui para Rasul Nya. Setan
menyadari bahwa mengajak manusia menjadi kafir adalah suatu hal yang tidak
mudah. Oleh sebab itu, setan akan menunjukkan kepada manusia berbagai macam
dalih dan alasan yang diterima oleh manusia agar mengingkari ajaran-ajaran
Allah.[12]
3.
Jihad
melawan orang kafir dan munafik (Jihadul Kuffar walmunafiqin)
Jihad melawan orang kafir dan musyrik adalah menyerukan
atau melakukan ajakan kepada mereka untuk memeluk Islam dan menahan perlawanan
mereka. Jihad pada level ini dapat dilakukan dengan tangan, harta, lisan,
maupun hati. Siapa pun yang belum mampu berjihad melawan dirinya dan setan yang
terselubung dalam dirinya maka ia tidak akan mampu berjihad untuk melawan
musuh-musuh agama dari golongan kafir dan musyrik.[13]
Jihad melawan diri sendiri dan setan merupakan suatu
keharusan bahkan wajib bagi setiap muslim hingga imannya menjadi konsisten,
hatinya menjadi damai, dan dadanya menjadi lapang. Sementara jihad melawan
orang-orang kafir adalah wajib bagi suatu kelompok dari kaum muslimin, yaitu
orang-orang yang selalu menjalankan hukum syariat dan kewajibankewajibannya.
Hal yang mereka kerjakan itu dapat dikatakan cukup sebagai perwakilan dari kaum
muslimin.[14]
4.
Jihad
arbabuzh zhalmi wal bida’wal munkarat (jihad melawan orang-orang zhalim,
ahli bid’ah, dan pelaku kemungkaran)
Ibnu
Qayyim menerangkan bahwa jenis jihad ini memiliki tiga tingkatan:
a.
Berjihad
dengan tangan. Hal ini bisa dilakukan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan
melakukan perubahan dengan tangannya, sesuai dengan bakat yang Allah berikan
kepada mereka.
b.
Berjihad
dengan lisan (nasehat). Berlaku bagi siapa saja yang memiliki kemampuan
memberikan perubahan melalui lisannya.
c.
Berjihad
dengan hati.
Salah satu dalil
untuk tiga tingkatan di atas adalah hadis dari Abu Sa’id Al-Khudry ra bahwa
beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda yang artinya: “Barang
siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubah
kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, (dia mengubah) dengan
lisannya. Jika tidak mampu, (dia mengubah) dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah
keimanan.”[15]
5.
Jihad
harta
Berjihad dengan harta di jalan Allah mempunyai pengertian
umum dan khusus. Umumnya, jihad harta bisa berupa sumbangan harta dalam hal
kebaikan yang mengantarkan kepada keridhaan Allah swt, seperti membantu dan
menolong fakir miskin, membangun rumah sakit, masjid, sekolah, lembaga kajian
agama dan lain-lain.[16]
Sementara secara khusus, jihad harta merupakan pemberian
sumbangan berupa harta untuk mendukung bidang-bidang yang terkait dengan jihad
militer, seperti pembelian senjata lengkap,alat alat tempur, baju perang,
pengembangan fasilitas dan lain sebagainya yang bertujuan memberikan perlawanan
perang terhadap musuhmusuh Islam.[17]
C.
Jihad
Perspektif Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar
Jihad sendiri dalam al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat
Makkiyah dan Madaniyah. Adapun kata jihad yang terkandung dalam ayat-ayat
periode Makkiyah yaitu ada pula yang menyebutkan bahwa ayat-ayat jihad yang
mengandung maksud perjuangan sebanyak 28 ayat.
Adapun di bawah ini adalah ayat-ayat yang akan penulis
bahas dan deskripsikan tentang jihad perspektif Hamka dalam Tafsir Al-Azhar:
1.
QS.
Al-Furqan ayat 52
2.
QS.
An-Nahl ayat 110
3.
QS.
Al-Ankabut ayat 6, 69
4.
QS.
Al-Baqarah ayat 218
5.
QS.
Al-Anfal ayat 72, 74, 75
6.
QS.
Ali Imran ayat 142
7.
QS.
Al-Mumtahanah ayat 1
8.
QS. An-Nisa’
ayat 95
9.
QS.
Muhammad ayat 31
10. QS. Al-Hajj ayat 78
11. QS. Al-Hujurat ayat 15
12. QS. At-Tahrim ayat 9
13. QS. Ash-Shaaf ayat 11
14. QS. Al-Maidah ayat 35, 54
15. QS. At-Taubah ayat 16, 19, 20, 24, 41, 44, 73, 81, 86, 88
Ayat-ayat di
atas hanya menjelaskan tentang jihad. Ayat-ayat jihad ini terdiri dari dua
macam yaitu Makkiyah dan Madaniyah. Ada banyak hal yang membedakan ayat
Makkiyah dan Madaniyah tersebut. Makiyah adalah acuan dalam akidah sedangkan
madaniyah adalah rujukan dalam syariat.
Ayat jihad
Makkiyah secara umum berisi tentang perintah bersabar akan perilaku musuh serta
tetap konsisten melakukan dakwah islamiyah. Sementara ayat jihad Madaniyah
berisi perintah kepada kaum muslimin untuk menghadapi musuh bahkan mewajibkan
dengan jalan perang.
Berikut ini
adalah beberapa tafsiran Hamka dalam kitab Tafsit Al-Azhar:
1.
Al-Furqan
25: 52
فَلَا تُطِعِ الْكٰفِرِيْنَ وَجَاهِدْهُمْ بِهٖ جِهَادًا
كَبِيْرًا
“Maka,
janganlah engkau taati orang-orang kafir dan berjihadlah menghadapi mereka
dengannya (Al-Qur’an) dengan (semangat) jihad yang besar.”
Tafsiran
ayat di atas Hamka menjelaskan bahwa, Al-Qur’an adalah kalamullah untuk seluruh
alam. Berjuanglah engkau dengan semangat yang besar menegakkan al-Qur’an itu
selama hayatmu dikandung badan, dan jika pun datang waktunya panggilan-Ku
engkau mati namun suara al-Qur’an itu akan terus membahana di atas permukaan
bumi.
Pada
ayat di atas Hamka terkesan kepada Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu
sekaligus kepada kita umat Islam sebagai penerus dari warisan Nabi Muhammad
ini. Umat Islam memiliki peran meneruskan jihad dengan al-Qur’an, jihad yang
besar, jihad yang tidak mengenal kata capek. Kalau kita hendak berintrospeksi
diri dengan seksama, kita senantiasa akan sadar tentang nilai hidup dan tugas
suci kita sebagai muslim di dunia ini.[18]
2.
QS.
An-Nahl16: 110
ثُمَّ اِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِيْنَ هَاجَرُوْا مِنْۢ بَعْدِ
مَا فُتِنُوْا ثُمَّ جَاهَدُوْا وَصَبَرُوْاۚ اِنَّ رَبَّكَ مِنْۢ بَعْدِهَا
لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ࣖ
“Kemudian,
sesungguhnya Tuhanmu (adalah pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah setelah
menderita cobaan. Lalu, mereka berjihad dan bersabar. Sesungguhnya Tuhanmu
setelah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Hamka
menjelaskan dahsyatnya jihad dalam tafsiran ayat di atas, Demi tegaknya kalimat
Allah di antara tauhid dan syirik, iman dan kafir di kota Mekkah kala itu. Para
musyrik tetap kokoh pada pendirian dan prinsip yang keliru. Orang-orang muslim
yang rendah ekonominya, namun tetap kokoh memegang iman dianiaya oleh mereka.
Ada perempuan yang
dibunuh, yang laki-laki diarak dan diseret di pasir panas, bahkan ada yang
dipaksa memaki Nabi dan meninggikan berhala mereka, seperti Amar bin Yasir kala
itu. Namun Nabi Muhammad selalu memberikan dukungan semangat terhadap
pengikut-pengikutnya untuk selalu tabah dalam menghadapi kenyataan pahit itu,
untuk tetap teguh pendirian pada jalan yang lurus dan tidak tergoda dengan
kehidupan dunia.
Hingga
Abu Sufyan yang menjadi musuh besar Islam kala itu kemudian memeluk Islam serta
mengakui kekaguman islam di hadapan Heraclius, raja Romawi yang memerintah
negeri Syam kala itu. Ia menyampaikan bahwa masyarakat yang menyatakan
keislamannya kala itu tidak pernah kembali ke agamanya yang lama, meskipun
mereka mendapatkan penyiksaan bertubi-tubi. Karena berbagai cobaan dan
penyiksaan itu, mereka diperintah untuk hijrah ke Madinah.
Mereka
harus rela dan ikhlas meninggalkan kampung halaman, keluarga dan harta benda,
tanpa bekal apa-apa ke tempat baru, kecuali iman. Mereka menjaga iman dengan
sungguh-sungguh, konsisten beribadah serta sabar atas penderitaan yang mereka
alami. Mereka yang demikian itu akan menerima kebahagiaan jiwa di dunia serta
mendapat sambutan mulia dari Allah di akhirat[19]
3.
QS.
Al-Ankabut 29: 6
وَمَنْ جَاهَدَ فَاِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهٖ ۗاِنَّ
اللّٰهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
“Siapa yang
berusaha dengan sungguh-sungguh (untuk berbuat kebajikan), sesungguhnya dia
sedang berusaha untuk dirinya sendiri (karena manfaatnya kembali kepada
dirinya). Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakaya (tidak memerlukan suatu apa
pun) dari alam semesta.”
Hamka
memberikan pengertian tentang pokok dari pada jihad yaitu bekerja sekuat
tenaga, besungguh-sungguh, tidak mengenal lelah apalagi lalai, baik siang
maupun malam. Jihad dilakukan demi kemajuan islam. Jalan Allah tegak dengan
kokoh dan utuh. Jihad adalah berjuang dengan memberikan pengorbanan tenaga,
harta benda, bahkan jika perlu jiwa sekalipun.
Al-Imam
Ibnu Qayyim membagi jihad melawan musuh Islam ke dalam empat golongan. Pertama,
jihad melawan orang kafir yang berniat menghancurkan Islam atau aqidah kita
sendiri. Kedua, jihad melawan setan dan iblis yang sudah menjadi musuh
turun-temurun sejak Nabi Adam masih di surga. Setan itu akan terus menggoda
kita, kita harus melawannya. Ketiga adalah kaum munafik yang sulit sekali kita
bedakan, karena ia terlihat seperti sahabat dekat padahal ia merupakan musuh di
balik selimut. Keempat, musuh yang paling dahsyat dan hebat, yaitu hawa nafsu
yang tidak tampak dan melekat dalam diri kita sendiri.[20]
4.
QS.
Al-Baqarah 2: 218
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَاجَرُوْا
وَجَاهَدُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۙ اُولٰۤىِٕكَ يَرْجُوْنَ رَحْمَتَ اللّٰهِ
ۗوَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman serta orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan
Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
Hamka
menjelaskan tentang kesungguhan berjihad dalam tafsiran ayat di atas, Mereka
yang dengan rela bersabung nyawa melaksanakan perintah Allah, maka mereka
sebenarnya telah mencapai tiga tingkat dari aqidahnya kepada rabb-nya. Pertama,
ia sudah menyatakan kepercayaan kepada Allah dan Rasul-Nya artinya tidak
menyekutukan Allah. Dari itu, mereka mendapatkan gangguan dan penghinaan di
kampung halaman sendiri.
Namun,
karena cintanya pada Allah dan rasul-Nya melebihi cinta mereka kepada siapapun,
maka ketika diajak oleh Rasul untuk hijrah ke Madinah, mereka pun
mengiyakannya. Mereka rela meninggalkan tanah kelahiran dari pada harus
menyembah berhala. Sekalipun di tempat baru itu mereka akan menghadapi
kesukaran, mereka ikhlas menerima hal tersebut demi pertahanan iman kepada
Allah. Lebih dari itu, Allah memerintahkan mereka untuk berperang dalam
menegakkan agama Allah, mereka pun lantas berperang dan mempertaruhkan
nyawanya.
Mereka
rela hidup untuk melanjutkan perjuangan dan rela mati dalam keadaan syahid,
dalam keadaan membela agama Allah. Dalam hati mereka sudah terpatri bahwa ada
rahmat Allah di balik perjuangan itu. Dan, kalau ada kesalahan kecil, yang
tentunya tidak akan luput dengan perjuangan hidup mereka sebagaimana yang
dialami Abdullah bin Jahasy dengan teman-temannya, maka mereka mendapat ampunan
dari Allah yang Maha Pengampun. Allah juga menyayangi mereka karena mereka
telah mengerahkan tenaga mereka fi sabilillah.[21]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Jihad
menurut Hamka adalah merupakan kata umum, yang secara harfiah di antaranya
diartikan sebagai peperangan. Kemudian beliau menjabarkan tentang jihad adalah
kesungguhan dan kegiatan yang didorong oleh hati dengan rasa tulus dan ikhlas
serta sabar, melakukan amar ma’ruf, nahi munkar, berdakwah, mendidik, dan
mengasuh umat kepada kesadaran beragama.
2.
Adapun
yang dimaksud dengan jihad menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar tidak hanya
mengorbankan bentuk materil saja namun juga mengikut sertakan jiwa raga seperti
halnya yang telah dikutip oleh Hamka dalam QS. At-Taubah ayat 41. Yang artinya
“Dan berjihadlah dengan harta benda kamu dan jiwa kamu pada jalan Allah.”
3.
Jihad
fisik menurut Hamka adalah perang jika diperintahkan oleh pemegang otoritas
(pemimpin) di suatu negeri. Sedangkan Jihad nonfisik adalah segala amal
kebajikan yang positif bagi agama.
B.
Saran
1.
Dalam
memandang makna jihad harus lebih kontekstual, dimana ukuran jihad itu lebih
fleksibel, bisa menyesuaikan dengan kondisi yang melengkapi.
2.
Kepada
para pemikir dan ilmuwan, khususnya para ahli dan peneliti ilmu tafsir,
hendaklah tetap mempunyai semangat yang besar dalam menjalankan tugasnya karena
masyarakat sangat membutuhkan buah pikiran kita semua, diharapkan dengan itu
semua masyarakat tidak lagi mempunyai kebimbangan dalam memahami maksud dan
tujuan al-Qur’an. Dengan buah pikiran yang dapat dipahami oleh masyarakat
dengan mudah diharapkan tentang isi dan kandungan al-Qur’an sebagai pedoman
dalam rangka menghadapi hidup di dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Hajar Al Asqalani, Bulughul Maram
Dan Penjelasannya, Ummul Qura:Jakarta, Tahun 2016.
Kamaruddin, Jihad Dalam Perspektif Hadis,
Jurnal Hunafa, Vol. 5 No. 1, Palu, tahun 2018.
Sudarmono, Konsep Jihad Dalam Al-Qur’an
Perspektif Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar, Jakarta, tahun 2022.
Rif’at Husnul Ma’afi, Konsep Jihad dalam
Perspektif Islam, Kalimah: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 11,
No. 1. Tahun 2018.
Zakiyuddi Baidhawy, The Concept of Jihad
and Mujahid of Peace, tahun 2012.
[1]Sudarmono, Konsep Jihad Dalam Al-Qur’an Perspektif Hamka Dalam Tafsir
Al-Azhar, Jakarta, tahun 2022, hal. 37
[2]Ibid,. hal. 38
[3]Ibnu Hajar Al Asqalani, Bulughul Maram Dan Penjelasannya, Ummul
Qura:Jakarta, Tahun 2016, hal. 973
[4]Zakiyuddi Baidhawy, The Concept of Jihad and Mujahid of Peace, tahun
2012, hal. 80
[5]Kamaruddin, Jihad Dalam Perspektif Hadis, Jurnal Hunafa, Vol. 5 No.
1, Palu, tahun 2018, hal. 7.
[6]Rif’at Husnul Ma’afi, Konsep Jihad dalam Perspektif Islam, Kalimah:
Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 11, No. 1, hal. 138.
[7]Ibid,. hal. 139
[8]Ibid,. hal. 140
[9]Sudarmono, Konsep Jihad Dalam Al-Qur’an Perspektif...hal. 59
[10]Ibid,. hal. 60
[11]Sudarmono, Konsep Jihad Dalam Al-Qur’an Perspektif...hal. 63
[12]Ibid,. hal. 65
[13]Sudarmono, Konsep Jihad Dalam Al-Qur’an Perspektif...hal. 66
[14]Ibid.
[15]Ibid., 67
[16]Sudarmono, Konsep Jihad Dalam Al-Qur’an Perspektif...hal. 68
[17]Ibid.
[18]Sudarmono, Konsep Jihad Dalam Al-Qur’an Perspektif...hal. 77
[19]Sudarmono, Konsep Jihad Dalam Al-Qur’an Perspektif...hal. 77
[20]Ibid., hal 80
[21]Sudarmono, Konsep Jihad Dalam Al-Qur’an Perspektif...hal. 84
No comments:
Post a Comment