MAKALAH KORUPSI LEMAHNYA KEIMANAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Terdapat banyak ungkapan yang dapat di
pakai untuk menggambarkan pengertian korupsi, meskipun tidak seutuhnya benar.
Akan tetapi tidak terlalu menjauh dari hakikat dan pengertian korupsi itu
sendiri. Ada sebagian yang menggunakan istilah “ikhtilas” untuk menyebutkan
prilaku koruptor, meskipun dalam kamus di temukan arti aslinya yaitu mencopet
atau merampas harta orang lain.
Realitanya praktikal korupsi yang selama
ini terjadi ialah berkaitan dengan pemerintahan sebuah Negara atau public
office, sebab esensi korupsi merupakan prilaku yang menyimpang dari norma-norma
yang berlaku di pemerintahan yang terletak pada penggunaan kekuasaan dan
wewenang yang terkadung dalam suatu jabatan di sau pihak dan di pihak lain
terdapat unsure perolehan atau keuntungan, baik berupa uang atau lainnya.
Sehingga tidak salah apabila ada yang memberikan definisi korupsi dengan
ungkapan “Akhdul Amwal Hukumah Bil Bathil” apapun istilahnya, korupsi laksana
dunia hantu dalam kehidupan manusia. Mengapa saya mengungkapkan dunia hantu,
sebab dunia hantu merupakan dunia yang tidak tampak wujut jasadnya, akan tetapi
hanya dapat dirasakan dampaknya. Dunia hantu merupakan sebuah ilusi-fantasi
yang mengimplikasikan terhadap dunia ketidak jujuran, kebohongan, dan hilangnya
sebuah kepercayaan.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Pengertian korupsi menurut islam
2. Dalil larangan korupsi
3. Hukuman terhadap koruptor
4. Cara pemberantasan korupsi menurut
islam
5. Nilai – nilai pendidikan dalam
hukuman korupsi
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
KORUPSI MENURUT ISLAM
Ajaran hukum Islam yang sangat menjunjung tinggi pemeliharaan akan kesucian
baik lahir maupun bathin, menghendaki agar manusia (umat islam) dalam melakukan
sesuatu harus sesuai fitrahnya, yakni apa yang telah dtentukan dalam al-Quran
dan As Sunnah yang merupakan sumber hukum tertinggi. Pemeliharaan akan kesucian
begitu ditekankan dalam hukum Islam, agar manusia (umat Islam) tidak terjerumus
dalam perbuatan kehinaan atau kedhaliman baik terhadap dirinya maupun terhadap
orang lain. Pelanggaran sesuatu hal dalam hukum (pidana) Islam tidak terlepas
dari tujuan pokok hukum Islam (al maqashid asy-syari’ah alkhams) yang merupakan
hal esensial bagi terwujudnya ketentraman hidup manusia. Adapun tujuan pokok
hukum Islam tersebut adalah memelihara keselamatan agama, jiwa, akal, harta dan
keturunan. Salah satu tujuan pokok hukum Islam ialah memelihara keselamatan
(kesucian) harta. Harta merupakan rezeki dalam arti material, karena dalam
bahasa agama rezeki melipuu rezeki material dan rezeki spiritual.
Islam adalah agama yang sangat menjujung tinggi akan arti kesucian,
sehingga sangatlah rasional jika memelihara keselamatan (kesucian) harta
termasuk menjadi tujuan pokok hukum (pidana) Islam, karena mengingat harta
mempunyai dua dimensi, yakni dimensi halal dan dimensi haram. Perilaku korupsi
adalah harta berdimensi haram karena morupsi menghalalkan sesuatu yang
diharamkan, dan korupsi merupakan wujud manusia yang tidak memanfaatkan
keluasan dalam memproleh rezeki Allah. Secara teoritis kedudukan korupsi merupakan
tindakan kriminal (jinayah atau jarimah) dimana bagi pelakunya diancam dengan
hukuman hudud (had) dan juga hukuman ta’zir.
Islam membagi Istilah Korupsi kedalam beberapa Dimensi. Yaitu risywah
(suap), saraqah (pencurian) al gasysy (penipuan) dan khianat (penghianatan).
Yang pertama, korupsi dalam dimensi suap (risywah) dalam pandangan hukum Islam
merupakan perbuatan yang tercela dan juga merupakan dosa besar serta Allah
sangat melaknatnya. Islam tidak menentukan apa hukuman bagi pelaku suap, akan
tetapi menurut fuquha bagi pelaku suap-menyuap ancaman hukumanya berupa hukuman
ta’zir (jarimah ta’zir) yang disesuaikan dengan peran masing-masing dalam
kejahatan. Suap adalah memberikan sesuatu kepada orang penguasa atau pegawai
dengan tujuan supaya yang menyuap mendapat keuntungan dari itu atau
dipermudahkan urusanya. Jika praktek suap itu dilakuakan dalam ruang lingkup
peradilan atau proses penegakkan hokum maka hal itu merupakan kejahatan yang
berat atau sejahat-jahatnya kejahatan. Abu Wail mengatakan bahwa apabila
seorang hakim menerima hadiah, maka berarti dia telah makan barang haram, dan
apabila menerima suap, maka dia sampa pada kufur.
Yang kedua, Korupsi dalam dimensi pencurian (saraqah). Saraqah (pencurian)
menurut etimologinya berarti melakukan sesuatu tindakan terhadap orang lain
secara tersembunyi.Sedangkan menurut Abdul Qadir ‘Awdah pencurian didefinisikan
sebagai suatu indakan yang mengambil harta orang lain dalam keadaan
sembunyi-sembunyi, artinya mengambil tanpa sepengetahuan pemiliknya. Jadi
sariqah adalah mengambil barang milik orang lain dengan cara melawan hokum atau
melawan hak dan tanpa sepengetahuan pemiliknya. Seperti halnya korupsi yang
mengambil harta dengan cara melawan hak dan tanpa sepengetahuan pemiliknya
(rakyat/masyarakat). Dalam syariah ancaman terhadap pelaku sariqah (pencurian)
ditentukan dengan jelas sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al Maidah: 38,
Allah berfirman :
Artinya:
“Laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potomglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS. Al-Maidah:38)
Sehubungan dengan hukuman potong tangan dalam jarimah sariqah (pencurian)
terdapat perbedaan pendapat apakah juga berlaku terhadap korupsi karena
berdasarkan hadist Nabi SAW, yang bersabda:
“Tidak dipotong
tangan atas penghianatan harta (korupstor ), perampok dan pencopet”.
Yang ketiga, Korupsi dalam dimensi penipuan (al gasysy). Secara tegas
berdasarkan sabda Rosulullah saw, Allah mengharamkan surga bagi orang-orang
yang melakukan penipuan. Terlebih penipuan itu dilakukan oleh seorang pemimpin
yang mempecundangi rakyatnya. “Dari Abu Ya’la Ma’qal ibn Yasar berkata: “ Aku
mendengar Rosulullah saw. Bersabda :” seorang hamba yang dianugerahi
allah jabatan kepemimpinan, lalu dia menipu rakyatnya; maka Allah
mengharamkannya masuk surga.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Yang keempat, Korupsi dalam dimensi khianat (penghianatan). Bahasa Agama
tentang korupsi yang sebenarnya adalah khianat (penghianatan), khianat
berkecenderungan mengabailak, menyalahgunakan, dan penyelewengan terhadap
tugas, wewenang dan kepercayaan yang amanahkan kepada dirinya. Khianat adalah
pengingkaran atas amanah yang dibebankan kepada dirnya atau mengirangi
kewajiban-kewajiban yang seharusnya dipenuhi. Perilaku khianat akan menyebabkan
permusuhan diantara sesame karena orang yang berkhianat selalu memutar-balikkan
fakta, dan juga berakibat terjadinya destruksi baik secara moral, social maupun
secara politik-ekonomi. Islam melarang keras bagi orang-orang yang beriman
terhadap perbuatan khianat baik terhadapa Allah, Rasul serta terhadap
sesamanya. Dalam surat Al-Anfal: 27, Allah berfirman:
Artinya :
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga)
janganlah kamu menghianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang
kamu mengetahuinya”. (QS.
Al-Anfal:27)
Dari apa yang telah dijelaskan diatas, bahwasanya korupsi (dengan berbagai
nama) dalam Islam digolongkan sebagai suatu perbuatan yang tercela dan
pelakunya dikualifikasi sebagai orang-orang yang munafik, dzalim, fasik dan
kafir, serta merupakan dosa besar yang ancaman hukumanya (selain had dan
ta’zir) adalah neraka jahannam.
B. DALIL
LARANGAN KORUPSI
Ada banyak Ayat dan Hadits, disamping yang sudah disebutkan di depan, yang menjelaskan
posisi atau hukum korupsi dalam pandangan Islam, diantaranya :Firman Allah SWT
dalam surat al-Baqarah [2] :188
Artinya :
“Dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah : 188)
"Ayat diatas jelas jelas melarang kita untuk mengambil harta orang
lain dengan caracara yang tidak benar. Dan "larangan" dalam
pengertian aslinya bermakna "haram", Dan ke"haram"an ini
menjadi lebih jelas, ketika Alloh menggunakan lafadh “bilitsmi” yang artinya
"dosa". Dari sini, jelas mengambil harta yang bukan miliknya
—termasuk diantaranya korupsi — adalah haram hukumnya, sama haramnya dengan
pekerjaan berzina, membunuh dan semacamnya.
Firman Allah Ta'ala
dalam surat an-Nisa' [4]:29
Artinya :
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka-sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesunguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu ".(QS. An-Nisaa’:29)
Seperti yang pertama, ayat ini pun melarang dengan tegas mengambil harta
orang dengan cara-cara tidak benar, bedanya ayat ini memberikan solusi
bagaimana mengambil harta orang lain tetapi dengan cara yang benar, salah satu
di antaranya dengan melakukan jual beli atau transaksi dagang yang terlandasi
kerelaan diantara pembeli dan penjual. Yang menarik, dalam ayat ini disebutkan
dengan jelas larangan membunuh diri sendiri – apalagi membunuh orang lain –
setelah larangan memakan harta orang lain dengan cara batil, sehingga – paling
tidak – hukum dan hukuman orang yang memakan harta orang lain dengan cara batil
sama dengan hukum dan hukuman membunuh orang, kalau tidak saya katakan
"lebih berat", mengingat penyebutan larangan memakan harta orang lain
dengan cara batil didahulukan dari larangan membunuh.
Larangan untuk melakukan perbuatan korupsi terdapat dalam beberapa ayat
Al-Qur’an dan Hadits. Walaupun secara literer tidak terdapat langsung mengenai
arti kata korupsi, namun secara analogi ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut
melukiskan tentang beberapa definisi korupsi sebagaimana yang telah disebutkan
di atas. Dalam pembahasan ini, penulis hanya mengemukakan dalil-dalil tentang
al-‘ghashab (penggunaan hak orang lain tanpa izin), al-‘ghulul (penyelewengan
harta negara), ar-risywah (suap), al-khianah (khianat), dan al-haraabah
(perampasan). Sedangkan as-sariqah (pencurian) sudah tercakup dari keseluruhan
definisi tersebut. As-sariqah (pencurian) menurut penulis hanya berlaku bagi
kasus pencurian di mana hasil curian telah dimanfaatkan oleh si pencuri tanpa
dikembalikan hasil curiannya sehingga berlaku hukum potong tangan dalam hukum
Islam. Sedangkan bagi koruptor, wajib hukumnya mengembalikan hasil usaha
korupsinya secara utuh dan dikenakan hukuman sesuai dengan syari’at Islam
berdasarkan putusan hakim. Dalam surat al-Kahfi ayat 79, Allah berfirman:
Artinya :
“Adapun
bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku
bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja
yang merampas tiap-tiap bahtera dengan jalan ‘ghasab.” (QS. AL –
Kahfi: 79)
Kemudian Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari ‘Addiy bin
‘Umairah al-Kindy yang artinya,
“Hai kaum muslim,
siapa saja di antara kalian yang melakukan pekerjaan untuk kami (menjadi
pejabat/pegawai negara), kemudian menyembunyikan sesuatu terhadap kami walaupun
sekecil jarum, berarti ia telah berbuat curang. Lalu, kecurangannya itu akan ia
bawa pada hari kiamat nanti.”
Selanjutnya masih terkait dengan hadits tersebut, sabda Nabi, “Siapa
saja yang mengambil harta saudaranya (tanpa izin) dengan tangan kanannya
(kekuasaan), ia akan dimasukkan ke dalam neraka, dan diharamkan masuk
surga”. Seorang sahabat bertanya: Wahai Rasul, “bagaimana kalau
hanya sedikit saja”? Rasulullah menjawab: “Walaupun sekecil kayu
siwak,” (HR Muslim, an-Nasai, dan Imam Malik).
Ketiga, yang berkaitan dengan ar-risywah (suap). Mengenai hal ini terdapat
dalam surat al-Maidah ayat 42:
Artinya :
“Mereka itu adalah
orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika
mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah
(perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling
dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan
jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara
mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”.(QS. Al – Maidah : 42)
C. HUKUMAN
TERHADAP KORUPTOR
Berdasarkan Al-Quran, perbuatan pidana yang dilakukan Oleh seseorang yang
bertanggung jawab diberi hukuman dengan hukuman tertentu sesuai keadilan
menurut Petunjuk Allah. Dasar dari pada Siapa yang berbuat pidana, perbuatan
kejahatan apa yang dapat dipidana dan bagaimana hukumanya. Perama didasarkan
pada Keimanan Kepada Allah dan Wahyu Allah dan Al-Quran dan kedua didasarkan
kepada akal sehat manusia untuk mendapatkan kemaslahatan didunia dan
kebahagiaan di akherat. Islam sebagai sistim nilai memegang peranan penting
untuk memberikan pencerahan nilai, penyadaran moral, perbaikan mental atau
penyempurnaan akhlak, dengan memanfaatkan potensi baik setiap indivisu, yakni
hati nurani. Lebih jauh Islam tidak hanya komitmen dengan upaya pensalehan
individu, tetapi juga pensalehan social. Dalam pensalehan sosial ini, Islam
mengembangkan semangat untuk mengubah kemungkaran, semangat saling
mengingatkan, dan saling menasehati.
Sejatinya Islam mengembangkan semangat kontrol sosial. Dalam bentuk lain,
Islam juga mengembangkan bentuk peraturan perundangan yang tegas, sistim
pengawasan administratif danb managerial yang ketat. Oleh karena itu dalam
memberikan dan menetapkan hukuman bagi pelaku korupsi, seharusnya tidak pandang
bulu, apakah ia seorang pejabat ataukah ia orang kebanyakan. Tujuan hukuman
tersebut adalah memberikan rasa jera guna menghentikan kejahatan yang telah ia
lakukan, sehingga dapat diciptakan rasa damai, dan rukun dalam masyarakat.
Korupsi merupakan perbuatan maksiat yang dilarang oleh syara’, meskipun nash
tidak menjelaskan had atau kifaratnya. Akan tetapi pelaku korupsi dikenakan
hukuman ta’zir atas kemaksiatn tersebut. Perbuatan maksiat mempunyai beberapa
kemiripan, diantaranya, mengkhianati janji, menipu, sumpah palsu, makan harta
riba dll. Maka perbuatan termasuk ke dalam jarimah ta’zir yang penting. Hal ini
sejalan dengan hadis Nabi SAW berikut :
ﺐﻬﺘﻨﻣ ﻻﻭ ﻦﺋﺎﺧ ﻰﻠﻋ ﺲﻴﻟ : ﻝﺎﻗ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ
ﻰﻠﺻ ﱮﻨﻟﺍ ﻦﻋ ﻪﻨﻋ ﷲﺍ ﻰﺿﺭ ﺮﺑﺎﺟ ﻦﻋ
(ﻯﺬﻣﺮﺘﻟﺍﻭ ﺪﲪﺍ ﻩﺍﻭﺭ) ﻊﻄﻗ ﺲﻠﺘﳐ ﻻﻭ
Artinya :
“Tidak ada (hukuman)
potong tangan bagi pengkhianat, perampok dan perampas/pencopet”. (HR.Ahmad dan Tirmizy). Diriwayatkan oleh Jabir RA dari nabi SAW, Nabi
bersabda :
Sebagai aturan pokok, Islam membolehkan menjatuhkan hukuman ta’zir atas
perbuatan maksiat, pabila dikendaki oleh kepentingan umum, artinya
perbuatan-perbuatan dan keadaan-keadaan yang bisa dijatuhi hukuman ta’zir tidak
mungkin ditentukan hukumannya sebelumnya, sebab hal ini tergantung pada sifat –
sifat tertentu, dan pabila sifat-sifat tersebut tidak ada maka perbuatan
tersebut tidaklagi dilarang dan tidak dikenakan hukuman. Sifat tersebut adalah
merugikan kepentingan dan ketertiban umum. Dan apabila perbuatan tersebut telah
dibuktikan di depan Pengadilan maka hakim tidak boleh membebaskannya, melainkan
harus menjatuhkan hukuman ta’zir yang sesuai untuknya.
Penjatuhan hukuman ta’zir untuk kepentingan dan ketertiban umum ini,
merujuk kepada perbuatan Rasulullah SAW, dimana ia pernah menahan seorang
laki-laki yang dituduh mencuri unta, Setelah diketahui/terbukti ia tidak
mencurinya, maka Rasulullah membebaskannya. Syari’at Islam tidak menentukan
macam-macam hukuman untuk jarimah ta’zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan
hukuman, dimulai dari hukuman yang seringan-ringannya, seperti nasehat,
ancaman, sampai pada hukuman yang seberat-beratnya.
Penerapannya sepenuhnya diserahkan kepada Hakim (Penguasa), dengan
kewenangan yang dimilikinya, ia dapat menetapkan hukuman yang sesuai dengan
kadar kejahatan dan keadaan pelakunya,9 dengan memperhatikan
ketentuan-ketentuan umum Islam dalam menjatuhkan hukuman, yaitu :
1. Tujuan penjatuhan hukuman, yaitu
menjaga dan memelihara kepentingan umum
2. Efektifitas hukuman dalam menghadapi
korupsi tanpa harus merendahkan martabat kemanusiaan pelakunya
3. Sepadan dengan kejahatan, sehingga
teras adil
4. Tanpa pilih kasih, semua sama
keudukannya di depan hukum.
Seorang Hakim dapat mempertimbangkan dan menganalisa berat dan ringanya
perbuatan yang dilakukan oleh pelaku korupsi. Kejahatan yang telah ditetapkan
sanksi hukumnya oleh nash, seorang Hakim tidak punya pilihan lain kecuali
menerapkannya. Meskipun sanksi hukum bagi pelaku korupsi tidak dijelaskan dalam
nash secara tegas, namun perampasan dan pengkhiatan dapat diqiyaskan sebagai
penggelapan dan korupsi.
Filsafat Hukum Islam dalam bidang pidana, khususnya dalam perbuatan korupsi
dan juga pemberian hukumanya, seperti disebutkan diatas telah terbagi dalam
beberapa dimensi. Islam membagi Istilah Korupsi kedalam beberapa Dimensi. Yaitu
risywah (suap), saraqah (pencurian) al gasysy (penipuan) dan khianat
(penghianatan). Yang pertama, korupsi dalam dimensi suap (risywah) dalam
pandangan hukum Islam merupakan perbuatan yang tercela dan juga merupakan dosa
besar serta Allah sangat melaknatnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
Hukuman terhadap Koruptor masuk kedalam hukuman Ta’zier. Hanya dalam dimensi
mencuri saja yang berupa hukuman hudud. Hukuman ta’zier adalah kejahatan yang
ancaman hukumanya tidak terdapat didalam Nash. Sehingga Diserahkan kepada
Penguasa Secara Penuh. Namun dalam menjatuhkan hukuman yang tidak terdapat
didalam nash harus didasarkan kepada pertimbangan akal sehat dan keyakinan
hakim untuk mewujudkan maslahat dan menimbulkan rasa keadilan.
Ulama sepakat bahwa ta’zier dapat diterapkan pada setiap maksiat
pelanggaran yang tidak ada hukum haddnya. Adanya Ta’zier dalam hukum Islam
menjamin rasa keadilan masyarakat untuk mewujudkan maslahat. Yang sifat dan
bentuk hukuman ta’zir deserahkan kepada kebbijaksanaan akal sehat, keyakinan
dan rasa keadilan hakim yang didasarkan keadilan masyarakat. Prisip prinsip
dalam pidana Islam ada 3 macam, yaitu:
a. Hukumanya hanya ditimpakan
kepada orang yang berbuat jarimah atau pidana, tidak boleh orang yang tidak
berbbuat jahat dikenai hukuman. Hal ini sesuai dengan Firman Allah Surat
Al-an’am, ayat 164
b. Adanya kesengajaan. Seseorang dihukum
karena kejahatan apabila ada unsure kesengajaan untuk berbuat itu, tidak ada
kesengajaan berarti ada kelalaian, tersalah, atau keliru atau terlupa. Walaupun
tersalah, atau keliru atau terlupa ada hukumanya, namun bukan hukuman karena
kejahatan, melainkan untuk kemaslahatan dan bersifat mendidik. Hal ini sesuai
dengan firman Allah Surat An-Nisa ayat 92.
c. Hukuman hanya dijatuhkan
apabila kejahatan itu secara meyakinkan telah diperbuat.
D. CARA PEMBERANTASAN
KORUPSI MENURUT ISLAM
Sesungguhnya terdapat niat cukup besar untuk mengatasi korupsi. Bahkan,
telah dibuat satu tap MPR khusus tentang pemberantasan KKN, tapi mengapa tidak
kunjung berhasil? Tampak nyata bahwa penanganan korupsi tidak dilakukan secara
komprehensif, sebagaimana ditunjukkan oleh syariat Islam berikut:
1. Sistem penggajian yang layak. Aparat
pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Hal itu sulit berjalan dengan
baik bila gaji tidak mencukupi. Para birokrat tetaplah manusia biasa yang
mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban untuk mencukup nafkah keluarga. Agar
bisa bekerja dengan tenang dan tidak mudah tergoda berbuat curang, mereka harus
diberikan gaji dan tunjangan hidup lain yang layak. Berkenaan dengan pemenuhan
kebutuhan hidup aparat pemerintah, Rasul dalam hadis riwayat Abu Dawud berkata,
“Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan
disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah, jika tidak mempunyai
pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan
(kendaraan) hendaknya diberi. Adapun barang siapa yang mengambil selainnya,
itulah kecurangan”.
2. Larangan menerima suap dan hadiah.
Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti
mengandung maksud agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah.
Tentang suap Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima
suap” (HR Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata,
“Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang
diterima hakim adalah kufur” (HR Imam Ahmad). Suap dan hadiah akan berpengaruh
buruk pada mental aparat pemerintah. Aparat bekerja tidak sebagaimana mestinya.
Di bidang peradilan, hukum ditegakkan secara tidak adil atau cenderung
memenangkan pihak yang mampu memberikan hadiah atau suap.
3. Perhitungan kekayaan. Setelah adanya
sikap tegas dan serius, penghitungan harta mereka yang diduga terlibat korupsi
merupakan langkah berikutnya. Menurut kesaksian anaknya, yakni Abdullah bin
Umar, Khalifah Umar pernah mengalkulasi harta kepala daerah Sa’ad bin Abi
Waqash (Lihat Tarikhul Khulafa). Putranya ini juga tidak luput kena gebrakan
bapaknya. Ketika Umar melihat seekor unta gemuk milik anaknya di pasar, beliau
menyitanya. Kenapa? Umar tahu sendiri, unta anaknya itu gemuk karena
digembalakan bersama-sama unta-unta milik Baitul Mal di padang gembalaan
terbaik. Ketika Umar menyita separuh kekayaan Abu Bakrah, orang itu berkilah “
Aku tidak bekerja padamu “. Jawab Khalifah, “Benar, tapi saudaramu yang pejabat
Baitul Mal dan bagi hasil tanah di Ubullah meminjamkan harta Baitul Mal padamu
untuk modal bisnis !” (lihat Syahidul Aikral). Bahkan, Umar pun tidak
menyepelekan penggelapan meski sekedar pelana unta (Lihat Kitabul Amwal).
Apa yang dilakukan Umar merupakan contoh baik bagaimana harta para pejabat
dihitung, apalagi mereka yang disinyalir terlibat korupsi. Seluruh yayasan,
perusahaan-perusahaan, ataupun uang yang disimpan di bank-bank dalam dan luar
negeri semuanya diusut. Kalau perlu dibuat tim khusus yang independen untuk
melakukannya, seperti halnya Muhammad bin Maslamah pernah diberi tugas khusus
oleh Umar untuk hal tersebut. Baru setelah itu, dibuktikan lewat pengadilan.
Di dalam buku Ahkamul Bayyinat, Syekh Taqiyyuddin menyatakan bahwa
pembuktian itu bisa berupa pengakuan dari si pelaku, sumpah, kesaksian, dan
dokumentasi tertulis. Kaitannya dengan dokumentasi tertulis ini Allah Swt.
menegaskan di dalam al-Quran:
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya. Hendaklah penulis di
antara kalian menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya…” (QS al-Baqarah [2]: 282).
Bila dicermati, penulisan dokumen ini sebenarnya merupakan bukti tentang
siapa yang berhak dan apa yang terjadi. Oleh karena kata “maka tuliskanlah
(faktubuh)” dalam ayat tersebut umum, maka mencakup semua muamalah dan semua
dokumen termasuk perjanjian, katabelece, keputusan pemerintah yang dibuatnya,
dan lain-lain.
Di samping itu, pembuktian pun dilakukan dengan pembuktian terbalik. Bila
semua bukti yang diajukan tidak diterima oleh terdakwa, maka terdakwa itu harus
membuktikan dari mana harta itu diperoleh dan harus pula menunjukkan bahwa
hartanya itu bukan hasil korupsi. Hal ini bisa dilihat dari apa yang
dicontohkan oleh Umar bin Khaththab. Ketika Umar menyita separuh kekayaan Abu
Bakrah, orang itu berkilah, “ Aku tidak bekerja padamu “. Jawab Khalifah,
“Benar, tapi saudaramu yang pejabat Baitul Mal dan bagi hasil tanah di Ubullah
meminjamkan harta Baitul Mal padamu untuk modal bisnis !” Setelah itu, Abu
Bakrah tidak dapat membuktikan bahwa dakwaan Umar tersebut salah. Ia tidak
dapat menunjukkan bahwa hartanya itu bukan hasil nepotisme. Akhirnya, Umar pun
tetap pada putusannya (Lihat Syahidul Aikral). Cara inilah yang sekarang
dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif
mencegah aparat berbuat curang. Tapi anehnya cara ini ditentang untuk
dimasukkan dalam perundang-undangan.
4. Teladan pemimpin. Khalifah Umar
menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena
kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik Baitul Mal Negara. Hal
ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara. Demi menjaga
agar tidak mencium bau secara tidak hak, Khalifah Umar bin Abdul Azis sampai
menutup hidungnya saat membagi minyak kesturi kepada rakyat. Dengan teladan
pemimpin, tindak penyimpangan akan mudah terdeteksi sedari dini. Penyidikan dan
penyelidikan tindak korupsi pun tidak sulit dilakukan. Tapi bagaimana bila
justru korupsi dilakukan oleh para pemimpin? Semua upaya apa pun menjadi tidak
ada artinya sama sekali.
5. Hukuman setimpal. Pada galibnya,
orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakaan dirinya. Hukuman dalam
Islam memang berfungsi sebagai zawajir (pencegah). Artinya, dengan hukuman
setimpal atas koruptor, diharapkan orang akan berpikir sekian kali untuk
melakukan kejahatan itu. Dalam Islam, tindak korupsi bukanlah seperti pencurian
biasa yang pelakunya dipotong tangannya. “Perampas, koruptor, dan pengkhianat
tidak dikenakan hukuman potong tangan” (HR Ahmad, Ashabus Sunan, dan Ibnu
Hibban). Akan tetapi, termasuk jarîmah (kejahatan) yang akan terkenai ta’zir.
Bentuknya bisa berupa hukuman tasyh’ir (berupa pewartaan atas diri koruptor –
dulu diarak keliling kota, sekarang bisa lewat media massa). Berkaitan dengan
hal ini, Zaid bin Khalid al-Juhaini meriwayatkan Rasulullah pernah
memerintahkan para sahabat untuk menshalati seorang rekan mereka yang gugur
dalam pertempuran Hunain. Mereka, para sahabat, tentu saja heran, karena
seharusnya seorang yang syahid tidak disembahyangi. Rasul kemudian menjelaskan,
“Sahabatmu ini telah berbuat curang di jalan Allah.” Ketika Zaid membongkar
perbekalan almarhum, ia menemukan ghanimah beberapa permata milik kaum yahudi
seharga hampir 2 dirham (lihat al- Muwwatha ). Atau, bisa juga sampai hukuman
kurungan. Menurut Abdurrahman al-Maliki dalam kitab Nidzamul ‘Uqubat fil Islam
(hlm. 190), hukuman kurungan koruptor mulai 6 bulan sampai 5 tahun. Namun,
masih dipertimbangkan banyaknya uang yang dikorup. Bila mencapai jumlah yang
membahayakan ekonomi negara, koruptor dapat dijatuhi hukuman mati.
6. Kekayaan keluarga pejabat yang
diperoleh melalui penyalahgunaan kekuasaan diputihkan oleh kepala negara
(Khalifah) yang baru. Caranya, kepala negara menghitung kekayaan para pejabat
lama lalu dibandingkan dengan harta yang mungkin diperolehnya secara resmi.
Bila dapat dibuktikan dan ternyata terdapat kenaikan yang tidak wajar, seperti
dilakukan Umar, kepala negara memerintahkan agar menyerahkan semua kelebihan
itu kepada yang berhak menerimanya. Bila harta kekayaan itu diketahui siapa
pemiliknya yang sah, maka harta tersebut–katakanlah tanah–dikembalikan kepada
pemiliknya. Sementara itu, apabila tidak jelas siapa pemiliknya yang sah, harta
itu dikembalikan kepada kas negara (Baitul Mal). Namun, bila sulit dibuktikan,
seperti disebut di dalam buku Tarikhul Khulafa, Khalifah Umar bin Khaththab
membagi dua kekayaan mereka bila terdapat kelebihan dari jumlah semula, yang
separuh diambil untuk diserahkan ke Baitul Mal dan separuh lagi diberikan
kepada mereka.
7. Pengawasan masyarakat. Masyarakat
dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat yang
bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan
aparat dengan tak segan memberi suap dan hadiah. Adapun masyarakat yang mulia
akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajaknya
berbuat menyimpang. Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat,
Khalifah Umar di awal pemerintahannya menyatakan, “Apabila kalian melihatku
menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang”. Dengan
pengawasan masyarakat, korupsi menjadi sangat sulit dilakukan. Bila ditambah
dengan teladan pemimpin, hukuman yang setimpal, larangan pemberian suap dan
hadiah, serta dengan pembuktian terbalik dan gaji yang mencukupi, insya Allah
korupsi dapat diatasi dengan tuntas.
Inilah pentingnya seruan penerapan syariat Islam guna menyelesaikan segenap
problem yang dihadapi negeri ini, termasuk dalam pemberantasan korupsi. Karena
itu, selamatkan Indonesia dari keserakahan para koruptor.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tidak ada satu dalil pun yang membenarkan perilaku korupsi dalam Islam.
Bahkan Islam melarang dengan tegas terhadap tindakan korupsi karena di dalamnya
mengandung unsur pencurian, penggunaan hak orang lain tanpa izin /
penyalahgunaan jabatan, penyelewengan harta negara, suap / sogok,
pengkhianatan, dan perampasan / perampokan.
Islam memandang korupsi sebagai perbuatan yang dapat merugikan masyarakat,
mengganggu kepentingan publik, dan menimbulkan teror terhadap kenyamanan dan
ketertiban masyarakat. Hukum Islam memberikan sanksi yang tegas terhadap
perilaku korupsi seperti hukuman terhadap jiwa, hukuman terhadap badan, hukuman
terhadap harta benda, dan hukuman terhadap kemerdekaan seseorang.
Dalam upaya meminimalisir terjadinya korupsi, filosofi Islam menganjurkan
agar dilakukan pencegahan secepat mungkin. Sebagaimana adagium “mencegah suatu
penyakit lebih baik daripada mengobatinya”, begitu juga dengan korupsi yang
lebih baik dicegah daripada diberantas secara tuntas. Untuk itu diperlukan
langkah dan strategi yang tepat, salah satunya adalah dengan cara meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam pengawasan dan menanamkan pendidikan anti korupsi
secara dini bagi generasi penerus bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi, (Jakarta,
Zikrul Hakim, 1997),hal.154-155
A.Hanafi, Azas-azas
Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1993), hal.69
Wahab Afif, Hukum
Pidana Islam, Banten ( Yayasan Ulumul Quran, 1988), hal. 214
http://thamrin.wordpress.com/2006/07/14/korupsi-dalam-dimensi-sejarah-indonesia-bagian-keempat-penutup/
Ismail Muhammad
Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1992), h.87
http://ibrahim-muhlis.blogspot.com/2011/02/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
http://mgtabersaudara.blogspot.com/2011/06/ketegasan-syariat-islam-dalam.html
http://arengiff.blogspot.com/2011/01/korupsi-dalam-islam.html
http://www.fahmina.or.id/artikel-a-berita/mutiara-arsip/630-korupsi-pandangan-dan-sikap-islam.html
http://bagindams.blogspot.com/2009/11/korupsi-dalam-perspektif-islam_23.html
http://ganimeda.wordpress.com/2010/12/07/perspektif-islam-terhadap-korupsi/
http://hukum.kompasiana.com/2012/04/23/filsafat-pemidanaan-islam-dalam-pemberian-hukuman-bagi-koruptor/
http://zulchizar.wordpress.com/2010/07/10/cara-pemberantasan-korupsi-dalam-perspektif-islam/
http://alquran.babinrohis.esdm.go.id/
No comments:
Post a Comment