HUBUNGAN KETUBAN PECAH DINI TERHADAP TINDAKAN PERSALINAN PREMATUR DI RSUD MEURAXA DAN RSPUR
KOTA BANDA ACEH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
belakang
Persalinan adalah suatu
kejadian fisiologis yang dihadapi oleh wanita, tetapi perlu diakui bahwa
situasi fisiologis tersebut dapat berubah menjadi patologis. Saat ini, berbagai
masalah dalam kehamilan yang dapat mengancam keselamatan ibu hamil semakin
sering terjadi, dan salah satu contohnya adalah ketuban yang pecah sebelum
waktunya, yang dapat meningkatkan risiko keparahan dan kematian baik bagi ibu
maupun bayi.1
Ketuban Pecah Dini (KPD)
adalah kondisi di mana selaput ketuban pecah atau robek sebelum proses
persalinan dimulai. Berdasarkan waktu kejadiannya, KPD dapat dibagi menjadi dua
jenis, yaitu premature rupture of membranes (PROM) dan preterm
premature rupture of membranes (PPROM). PROM terjadi pada atau setelah usia
kehamilan 37 minggu, yang disebut juga sebagai KPD aterm. Sementara itu, PPROM
atau yang juga dikenal sebagai KPD preterm terjadi sebelum usia kehamilan
mencapai 37 minggu.2
Prevalensi Ketuban Pecah
Dini (KPD) secara global berkisar antara 2-10%, dan kondisi ini memengaruhi
sekitar 5-15% dari keseluruhan kehamilan, dengan tingkat kejadian tertinggi
tercatat di wilayah Afrika (7,8). Di Indonesia, berdasarkan data Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2018, angka kejadian KPD mencapai 5,6% dari total
kehamilan. Di Provinsi Aceh pada tahun yang sama, kasus KPD mencapai 3,2%.
Sebuah penelitian yang dilakukan di RSUDZA pada tahun 2019 mencatat bahwa
insidensi KPD mencapai 19,1%.3
Menurut World Health Organization
(WHO), kematian dan kesakitan ibu hamil, melahirkan, dan nifas tetap menjadi
tantangan signifikan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Setiap
tahun, lebih dari 585.000 ibu mengalami kematian selama kehamilan atau
persalinan.4 Ketuban Pecah Dini merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan kelahiran prematur, dengan tingkat kejadian berkisar antara 30-40%.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tercatat bahwa angka
kematian ibu mencapai 305 per 100.000 kelahiran hidup, sementara angka kematian
neonatus mencapai 32 per 1.000 kelahiran hidup. ketuban pecah dini merupakan
salah satu penyebab utama kematian ibu dan neonatus. Meskipun begitu, hingga
saat ini, belum terdapat data yang secara pasti mencerminkan angka kejadian
ketuban pecah dini di tingkat nasional.5
Pada kasus ibu yang
memiliki riwayat (KPD) merupakan faktor risiko utama untuk kejadian KPD atau
persalinan prematur pada kehamilan berikutnya.6 Berbagai faktor yang berkontribusi pada terjadinya
Ketuban Pecah Dini (KPD) Faktor-faktor risiko yang terkait dengan KPD mencakup
usia, jenis pekerjaan, kehamilan ganda, paritas, anemia, infeksi intrauterin,
kondisi sosial ekonomi yang rendah, pola hidup yang tidak sehat (merokok dan
penggunaan obat-obatan), indeks massa tubuh di bawah 19,8 kg/m2, tingkat
kecukupan konsumsi makanan, sejarah KPD sebelumnya, serta infeksi pada
kehamilan lainnya seperti bakterial vaginosis, yang dianggap sebagai faktor risiko
potensial terjadinya KPD.3
Persalinan prematur secara
klinis didefinisikan sebagai persalinan yang terjadi pada rentang usia
kehamilan antara 20 hingga kurang dari 37 minggu, yang dihitung sejak hari
pertama menstruasi terakhir. Di negara-negara berkembang, prevalensinya
mencapai sekitar 7% dari total persalinan. Dalam konteks pelayanan obstetrik,
masalah prematuritas menjadi aspek yang esensial untuk dibahas, mengingat bahwa
hingga saat ini, bayi prematur tetap menjadi salah satu faktor utama yang
berkontribusi pada tingginya angka kematian bayi di Indonesia Persalinan
prematur tidak hanya memengaruhi angka kematian bayi, tetapi juga menjadi
penyebab utama morbiditas dan mortalitas neonatal secara global, dengan tingkat
mencapai 60-80%.7
Oleh karena itu, upaya
pencegahan persalinan prematur dapat dilakukan dengan memperhatikan
faktor-faktor risiko yang terkait, termasuk riwayat persalinan prematur
sebelumnya, usia ibu, jumlah kehamilan, jarak antar kehamilan, kejadian ketuban
pecah dini, plasenta previa, serta kondisi preklampsia/eklampsia.8
Dari penjelasan sebelumnya,
peneliti menyimpulkan bahwa adanya Hubungan ketuban pecah dini dan persalinan
prematur. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengeksplorasi dan menilai
Hubungan ketuban pecah dini dan persalinan prematur, khususnya dalam konteks
upaya pencegahan ketuban pecah dini terhadap tindakan persalinan prematur di RSUD
Meuraxa dan RSPUR Kota Banda Aceh selama periode tahun 2021-2023.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada “Hubungan Ketuban Pecah
Dini Terhadap Tindakan Persalinan Prematur di RSUD Meuraxa dan RSPUR?”
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini untuk Menganalisa Hubungan
Ketuban Pecah Dini Terhadap Tindakan
Persalinan Premature di
RSUD Meuraxa dan RSPUR Kota Banda Aceh.
1.3.2
Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan
khusus dalam penelitian ini :
a.
Mengidentifikasi karakteristik ibu hamil di RSUD Meuraxa dan RSPUR Kota Banda Aceh.
b.
Mengetahui angka kejadian KPD di RSUD Meuraxa dan RSPUR Kota Banda Aceh.
c.
Mengetahui angka kejadian persalinan prematur di RSUD Meuraxa dan RSPUR Kota Banda Aceh.
d.
Menganalisa Hubungan Ketuban Pecah Dini Terhadap Tindakan Persalinan Prematur (KPD) di RSUD Meuraxa dan RSPUR Kota Banda Aceh.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Bagi peneliti
Mendapat tambahan
pengetahuan dan pengalaman baru yang dapat diterapkan dalam masyarakat. Selain
itu, hasil ini dapat menjadi landasan data bagi peneliti lain yang ingin
mengeksplorasi lebih lanjut mengenai korelasi antara Ketuban Pecah Dini Terhadap Tindakan Persalinan Prematur.
1.4.2
Bagi Institusi
Temuan dari penelitian
ini dapat menjadi acuan dan memberikan kontribusi pada pemahaman serta
pengetahuan mahasiswa kedokteran
mengenai Ketuban Pecah Dini Terhadap Tindakan Persalinan Prematur.
1.4.3
Bagi Masyarakat
Diharapkan
dapat bermanfaat bagi masyarakat sebagai bahan informasi baru terkait Ketuban
Pecah Dini Dengan Tindakan Persalinan Prematur. Serta masyarakat dapat mencegah
terjadinya prematur dengan mencegah faktor risiko khususnya ketuban
pecah dini.
1.5
Ruang
Lingkup Penelitian
Penelitian ini
melibatkan seluruh pasien yang menjalani ketuban pecah dini di RSUD
Meuraxa dan RSPUR. Sampel untuk penelitian ini diambil melalui penggunaan data sekunder
yang terdapat dalam Rekam medis.
1.6
Hipotesis
Penelitian
Hipotesis
penelitian ini adalah:
Ho : Tidak ada hubungan Ketuban
Pecah Dini Terhadap Tindakan Persalinan Prematur di RSUD Meuraxa dan RSPUR Kota Banda Aceh.
Ha : Hipotesis yang
menyatakan adanya hubungan antara variabel dependen dan variabel independen
yaitu adanya Hubungan Ketuban Pecah Dini Terhadap Tindakan Persalinan Prematur di RSUD
Meuraxa dan RSPUR Kota Banda Aceh.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Ketuban Pecah Dini
2.1.1
Definisi
Pecahnya ketuban sebelum waktu yang diinginkan, yang dikenal
sebagai Ketuban Pecah Dini (KPD) atau juga sering disebut sebagai Premature
Rupture of the Membrane (PROM), merujuk pada kondisi di mana selaput ketuban
pecah sebelum proses persalinan. Jika KPD terjadi sebelum mencapai usia
kehamilan 37 minggu, kondisi ini disebut sebagai pecahnya ketuban pada
kehamilan premature.5
Ketuban Pecah Dini (KPD) dapat dijelaskan sebagai
gangguan pada membran janin yang ditandai dengan keluarnya cairan dari vagina
secara spontan sebelum proses persalinan terjadi. Apabila peristiwa ini terjadi setelah usia
kandungan mencapai ≥ 37 minggu, kondisi tersebut dikenal sebagai Premature
Rupture of Membranes (PROM). Sebaliknya, ketika ketuban pecah dini terjadi pada
usia kandungan < 37 minggu, istilah yang digunakan adalah Preterm Premature
Rupture of Membranes (P-PROM).3
2.1.2 Epidemiologi
Kejadian Ketuban Pecah
Dini (KPD) mencapai 10-12% dari seluruh kehamilan. Pada kehamilan aterm,
insiden KPD berkisar antara 6-19%, sementara pada kehamilan preterm, angkanya
sekitar 2-5%. Menurut laporan lain, KPD terjadi sekitar 6-8% pada wanita
sebelum mencapai usia kehamilan 37 minggu dan secara langsung mendahului 20-50%
dari semua kelahiran prematur. Insiden KPD di seluruh dunia bervariasi antara
5-10%, dengan hampir 80% terjadi pada usia kehamilan aterm. Sebaliknya, insiden
KPD pada kehamilan preterm diperkirakan sekitar 3-8%. Dalam kondisi normal,
sekitar 8-10% wanita hamil aterm akan mengalami KPD, sedangkan hanya 1% terjadi
pada kehamilan preterm. Prevalensi KPD preterm di seluruh dunia mencapai 3-4,5%
dari keseluruhan kehamilan dan merupakan antara 6-40% dari semua persalinan
preterm atau prematuritas.9
2.1.3
Etiologi
Keputihan merupakan indikator umum adanya
infeksi pada saluran rahim dan merupakan penyebab utama dari terjadinya ketuban
pecah dini6. Dalam banyak kasus, penyebab Ketuban Pecah
Dini (KPD) masih belum diketahui dengan pasti. Beberapa faktor risiko yang
terkait dengan KPD melibatkan infeksi intrauterin, malposisi janin, serviks
inkompeten, pendarahan antepartum, usia ibu di bawah 20 tahun atau di atas 35
tahun, multigravida, kebiasaan merokok, status sosial ekonomi, riwayat abortus
atau persalinan prematur sebelumnya, riwayat KPD sebelumnya, defisiensi
nutrisi, faktor golongan darah, dan trauma. Selain itu,
karakteristik ibu yang melahirkan seperti usia kehamilan, usia ibu, tingkat
pendidikan, pekerjaan ibu, riwayat KPD sebelumnya, dan gravida juga dapat
memengaruhi kejadian KPD.10
Meskipun penyebab pasti
dari Ketuban Pecah Dini (KPD) belum sepenuhnya diketahui, beberapa faktor
predisposisi yang dapat memicu KPD termasuk masa gestasi, usia ibu, paritas,
infeksi, anemia, kehamilan ganda, peningkatan tekanan intrauterin, dan faktor keturunan.
Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan KPD
melibatkan infeksi intrauterin pada awal kehamilan, status sosial ekonomi
rendah, perawatan prenatal yang tidak memadai, dan kurangnya asupan nutrisi
yang memadai selama kehamilan.4
Ketuban Pecah Dini (KPD) memiliki penyebab
yang bersifat multifaktorial. Infeksi menjadi faktor sebagai penyebab utama
sekaligus dapat muncul sebagai komplikasi dari KPD. Infeksi sekunder yang
terjadi secara asenden juga dapat berlangsung pada kasus KPD, yang selanjutnya
dapat menyebabkan kondisi seperti desiduitis, korioamnionitis, atau infeksi
pada janin.11
Ketuban Pecah Dini (KPD) memiliki penyebab
yang bersifat multifaktor, dan umumnya dikaitkan dengan peningkatan stres fisik
yang dapat melemahkan membran ketuban. Analisis distribusi kasus KPD
berdasarkan jumlah paritas menunjukkan bahwa kejadian KPD lebih sering terjadi
pada ibu yang memiliki beberapa kali melahirkan (multipara). Temuan ini sesuai
dengan hasil penelitian oleh Sumadi dan Ariyani, yang menyatakan bahwa KPD
lebih sering terjadi pada wanita multipara.5
Meskipun berbagai etiologi terlibat,
seringkali tidak ada penyebab yang jelas yang dapat diidentifikasi pada pasien
yang mengalami Ketuban Pecah Dini (KPD). Ketuban yang pecah selama persalinan
pada umumnya disebabkan oleh kontraksi uterus dan peregangan berulang. Pecahnya
selaput ketuban terjadi karena adanya perubahan biokimia pada daerah tertentu,
menyebabkan selaput ketuban bagian bawah menjadi rapuh, bukan karena seluruh
selaput ketuban yang menjadi rapuh. Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi
matriks ekstraselular. Perubahan dalam struktur, jumlah sel, dan katabolisme
kolagen mengakibatkan perubahan aktivitas kolagen, yang pada akhirnya
menyebabkan pecahnya selaput ketuban.12
2.1.4
Fungsi Cairan Ketuban
Fungsi dari cairan ketuban antara lain:
a) Factor
b) Melindungi janin dari trauma eksternal.
c) Memungkinkan janin bergerak dengan bebas.
d) Menjaga suhu tubuh janin agar tetap stabil.
e) Meratakan tekanan di dalam uterus pada saat persalinan (partus), membantu
membuka serviks.
f) Membersihkan jalan lahir dengan cairan steril ketika ketuban pecah, dan
mempengaruhi keadaan di dalam vagina untuk mengurangi risiko infeksi pada bayi.13
Cairan (AK) beredar dengan cara janin menelan, menghirup, dan diekskresikan
melalui urin janin. Secara normal, air ketuban bersifat jernih dan memiliki
warna agak kekuningan, melapisi janin di dalam rahim selama masa kehamilan.Air
ketuban yang terdapat di dalam kantong ketuban memegang peran penting dengan
beberapa fungsi, antara lain:
a.
Memungkinkan
janin untuk bergerak bebas dan mengembangkan sistem muskuloskeletal.
b.
Menjaga
suhu janin dalam lingkungan yang relatif stabil, melindungi janin dari
kehilangan panas.
c.
Mendukung
perkembangan paru-paru janin.
d.
Berfungsi
sebagai bantalan dan perlindungan bagi janin, di mana janin dapat menghirup dan
menelan cairan tersebut, mendorong perkembangan sistem pernapasan dan pencernaan
yang normal.
e.
Mengandung
nutrien, hormon, dan antibodi yang melindungi janin dari penyakit.
f.
Air
ketuban berkembang dan mengisi kantong ketuban setelah dua minggu pembuahan.
Pada minggu-minggu awal kehamilan, air ketuban utamanya berasal dari ibu,
tetapi setelah sekitar dua puluh minggu, urin janin menjadi sebagian besar dari air ketuban.
g.
Air
ketuban terus-menerus ditelan, dihirup, dan digantikan melalui proses ekskresi,
yang melibatkan proses seperti pengeluaran urin. Pentingnya air ketuban dihirup ke dalam paru-paru janin membantu
paru-paru berkembang dengan sempurna. Saat ketuban pecah, baik selama
persalinan spontan maupun sebelumnya (ketuban pecah dini), sebagian besar air
ketuban tetap berada dalam rahim sampai neonatus lahir.14
2.1.5
Mekanisme Ketuban Pecah
Dini
Ketuban
pecah dini dapat dipicu oleh sejumlah faktor. Namun, mekanisme utamanya
melibatkan kerusakan integritas jaringan ikat korioamnion, yang disertai dengan
penurunan kolagen dalam jaringan, menyebabkan kehilangan kekuatan mekanik
secara tiba-tiba. Faktor risiko yang dapat memicu Ketuban Pecah Dini meliputi
infeksi saluran reproduksi, malpresentasi janin, kehamilan ganda atau gemelli,
inkompeten serviks, hingga trauma pada area abdomen.15
Ada
beberapa mekanisme yang dapat menyebabkan ketuban pecah sebelum persalinan.
Salah satu kemungkinan adalah melemahnya fisiologis membran, yang
dikombinasikan dengan kekuatan yang dihasilkan oleh kontraksi uterus. Infeksi
intramniotik seringkali terkait dengan Pecahnya Ketuban Prematur yang Berulang
(PPROM). Faktor risiko utama PPROM melibatkan riwayat PPROM sebelumnya, panjang
serviks yang pendek, perdarahan vagina pada trimester kedua atau ketiga, uterus
yang terlalu meregang, defisiensi nutrisi seperti tembaga dan asam askorbat,
gangguan jaringan ikat, indeks massa tubuh rendah, status sosial ekonomi
rendah, merokok, dan penggunaan obat-obatan terlarang.
Meskipun
terdapat berbagai etiologi, seringkali tidak ada penyebab yang jelas yang dapat
diidentifikasi pada pasien yang mengalami Ketuban Pecah Dini (KPD).
Pecahnya
selaput ketuban dalam persalinan umumnya disebabkan oleh kontraksi uterus dan
peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena terjadi perubahan biokimia
pada daerah tertentu, menyebabkan selaput ketuban bagian bawah menjadi rapuh,
bukan karena seluruh selaput ketuban yang menjadi rapuh. Terdapat
keseimbangan antara sintesis dan degradasi matriks ekstraselular. Perubahan
struktur, jumlah sel, dan katabolisme kolagen mengakibatkan aktivitas kolagen
berubah dan menyebabkan selaput ketuban pecah.12
2.2
Persalinan Prematur
2.2.1
Defenisi Persalinan Prematur
Persalinan prematur dapat
didefinisikan sebagai persalinan yang terjadi pada usia kehamilan antara 20
hingga kurang dari 37 minggu, dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Di
negara berkembang, insiden persalinan prematur mencapai sekitar 7% dari total
persalinan.7 Definisi
kelahiran prematur menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah semua
kelahiran yang terjadi pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu lengkap atau
kurang dari 259 hari sejak tanggal pertama menstruasi terakhir seorang wanita.
Kelahiran prematur menjadi semakin umum setiap tahunnya, dan peningkatan ini
terjadi hampir di seluruh negara. Lebih dari 60% dari total kelahiran prematur
terjadi di wilayah Afrika dan Asia Selatan, meskipun kelahiran prematur pada
dasarnya merupakan masalah global yang mempengaruhi berbagai negara di seluruh
dunia.16
2.2.2
Epidemiologi Persalinan
Prematur
Pertolongan Kesehatan Bayi (pkB) berkontribusi
sebanyak 75% terhadap kematian perinatal dan lebih dari 50% morbiditas jangka
panjang yang terkait dengan kondisi perinatal yang buruk. Meskipun tingkat
kelangsungan hidup bayi prematur telah meningkat dalam 20-30 tahun terakhir,
peluang bertahan hidup bayi prematur sangat bervariasi antara negara maju dan
negara berkembang. Perbedaan ini disebabkan oleh ketersediaan dan kualitas
layanan obstetri serta perawatan neonatal di masing-masing negara.17
Persalinan
prematur memiki faktor resiko yang sangat
beragam, dan 50% di antaranya tidak selalu dapat diidentifikasi pada setiap
individu. Beberapa faktor yang berperan meliputi kondisi sosial ekonomi, status
nutrisi, kondisi medis, infeksi, penyakit ibu selama kehamilan, kehamilan
ganda, tekanan fisik dan mental, kelainan plasenta, kebiasaan merokok, konsumsi
alkohol, dan inkompetensi serviks. Secara epidemiologi mengatakan,
persalinan prematur memiliki keterkaitan dengan faktor-faktor seperti status
sosial ekonomi, usia ibu, kelainan uterus, riwayat persalinan prematur
sebelumnya, riwayat abortus, kebiasaan merokok, dan faktor ras. Bayi yang lahir
dari ibu yang merokok cenderung memiliki berat badan yang lebih rendah
dibandingkan dengan bayi yang lahir dari ibu yang tidak merokok.7
2.2.3
Etiologi Dan Faktor
Predisposisi
Kelahiran prematur, yaitu sebelum usia kehamilan 37
minggu, dapat disebabkan oleh faktor medis dan non medis seperti persalinan
terlalu dini atau persalinan sesar. Penyebab umum termasuk infeksi, kehamilan
kembar, diabetes mellitus, hipertensi, dan mungkin pengaruh genetik.
Seringkali, tidak dapat diidentifikasi penyebabnya (WHO, 2018).18
Persalinan
kurang bulan atau prematur tetap menjadi masalah global, termasuk di Indonesia,
dengan dampak signifikan terkait prevalensi, morbiditas, dan mortalitas
perinatal. Persalinan
prematur merupakan penyebab utama kematian bayi dan menjadi penyebab kedua
setelah pneumonia pada anak di bawah usia lima tahun. Data
menunjukkan bahwa persalinan kurang bulan menyumbang sekitar 75% dari kematian
perinatal, dan lebih dari 50% dari kasus morbiditas jangka panjang yang terkait
dengan kondisi perinatal yang buruk. Meskipun
tingkat kelangsungan hidup bayi prematur telah meningkat dalam dua hingga tiga
dekade terakhir, peluang bertahan hidup masih sangat dipengaruhi oleh perbedaan
antara negara maju dan negara berkembang. Perbedaan
ini terkait dengan ketersediaan dan kualitas layanan obstetri serta perawatan
neonatal.8
Persalinan
prematur dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti Faktor plasenta
dan janin pertumbuhan janin terlambat Inkompatibilitas
darah, solusio plasenta, plasenta previa, infeksi seperti karioamnionitis,
faktor ibu atau maternal (usia, status gizi, paritas, penyakit seperti anemia,
hipertensi, diabetes melitus, ginjal, hati, kelainan uterus, riwayat
prematuritas berulang), Dan faktor gaya
hidup ibu seperti merokok dan minum alkohol.19
1.
Usia
Perkembangan
kehamilan dapat dipengaruhi oleh usia ibu; semakin muda atau lebih tua usia
ibu, risiko kelahiran prematur pun dapat meningkat. Hubungan ini terkait dengan
paritas, di mana terdapat risiko yang lebih tinggi terhadap kelahiran prematur pada
multipara muda dan primipara tua. Bila dibandingkan dengan primipara (wanita
yang hamil pertama kali) yang berusia 25-29 tahun, risiko kelahiran prematur
dua kali lipat pada wanita multipara (telah melahirkan lebih dari satu kali kali)
yang berusia kurang dari 18 tahun dan pada primipara yang berusia lebih dari 40
tahun.17
Pada
kehamilan yang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun, organ reproduksi seperti
rahim dan panggul, bersama dengan komponen lainnya, belum sepenuhnya berkembang
dan berfungsi optimal karena masih dalam tahap pertumbuhan. Panggul dan rahim
masih memiliki ukuran yang kecil pada usia ini. Selain itu, otot-otot perineum
dan otot-otot perut belum mencapai kematangan fungsional, sehingga tidak
bekerja secara optimal.
Di
sisi lain, kehamilan pada usia lebih dari 35 tahun terkait dengan penurunan
daya tahan tubuh dan proses penuaan. Pada usia ini, endometrium (lapisan dalam
rahim) mungkin kurang subur, yang dapat meningkatkan risiko kelainan
kongenital. Hal ini dapat berdampak pada kesehatan ibu dan perkembangan janin,
meningkatkan kemungkinan terjadinya kelahiran prematur. Oleh karena itu, kedua
kelompok usia ini memiliki risiko tersendiri yang perlu diperhatikan selama
kehamilan.20
2.
Paritas
Dalam suatu penelitian, ditemukan bahwa
paritas tinggi, yang mencakup kelompok Multipara dan Grandemultipara, dapat
meningkatkan risiko persalinan prematur sebanyak 1,6 kali lipat. Wanita yang
telah melahirkan lebih dari satu kali atau termasuk dalam kategori paritas
tinggi (Multipara dan Grandemultipara) memiliki risiko lebih tinggi mengalami
persalinan prematur. Hal ini disebabkan oleh penurunan fungsi alat reproduksi
dan peningkatan risiko perdarahan antepartum. Paritas tinggi ini erat kaitannya
dengan peningkatan usia ibu saat melahirkan, yang juga dapat mempengaruhi
risiko persalinan prematur.20
Wanita yang masuk dalam kategori paritas
tinggi memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami persalinan prematur,
disebabkan oleh penurunan fungsi alat reproduksi dan peningkatan risiko
perdarahan antepartum, yang dapat mengakibatkan terminasi kehamilan lebih awal.
Oleh karena itu, disarankan agar ibu yang telah memiliki tiga anak atau lebih
untuk mendapatkan konseling mengenai perencanaan keluarga (KB) dan dianjurkan
untuk menggunakan metode kontrasepsi mantap (MOW/MOP).20
3.
Pekerjaan
Penelitian menunjukkan bahwa ibu yang bekerja
selama hamil memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kelahiran prematur
dibandingkan dengan mereka yang tidak bekerja, dan hal ini memiliki tingkat
signifikansi (OR 1,66; CI 95% 1,07-2,58) dengan nilai p <0,05. Schuler et
al. (2001) menyatakan bahwa risiko pekerjaan yang dapat mempengaruhi kejadian
kelahiran prematur melibatkan faktor seperti bekerja di kantor (OR 1,00),
bekerja dalam posisi yang memerlukan lebih banyak duduk (OR 1,00), dan bekerja
secara full time (OR 0,80; CI 95% 0,43-1,53).
Hubungan antara pekerjaan dan risiko
kelahiran prematur juga dipengaruhi oleh faktor stres, depresi, dan kecemasan
yang dapat timbul dari berbagai jenis pekerjaan ibu di kantor, dengan nilai
Odds Ratio (OR) sebesar 1,2 (CI 95%, 1.11-1.21).17
4.
Polihidramnion
Polihidramnion adalah kondisi yang terkait
dengan penumpukan cairan ketuban yang berlebihan pada trimester ketiga
kehamilan, dan kondisi ini dapat bersifat akut atau kronis tergantung pada
durasinya. Data yang telah dipublikasikan menunjukkan bahwa selama perkembangan
otot, terjadi penurunan pembebanan mekanis pada tahap diferensiasi histokimia
akhir. Hal ini menyebabkan penurunan ekspresi rantai berat miosin (MHC) tipe 1,
yang pada gilirannya menyebabkan transisi dari otot yang berkontraksi lambat
menjadi otot yang berkontraksi cepat.
Dalam polihidramnion kronis, diferensiasi
otot histokimia dapat terpengaruh karena penurunan beban fisik yang bersifat
permanen. Otot yang paling aktif, seperti otot ekstensor tulang belakang dan
otot kaki, dapat menjadi lebih rentan terhadap dampak ini. Penurunan pembebanan
mekanis yang berlangsung lama dapat menyebabkan penurunan ekspresi MHC tipe 1,
yang mengakibatkan transisi dari otot berkontraksi lambat ke otot berkontraksi
cepat. Terutama pada otot ekstensor tulang belakang dan tungkai, jumlah serat otot
tipe I dapat mengalami penurunan.
Adanya MHC tipe 1 di semua otot rangka dapat
menyebabkan tingkat hipotrofi yang bervariasi tergantung pada persentase MHC
tipe 1 dalam otot yang terkena. Perubahan pada otot yang sudah mengalami
kelainan sebelumnya dapat lebih memperburuk kondisi otot. Oleh karena itu,
polihidramnion kronis idiopatik memberikan kesempatan langka untuk memahami
pengaruh penurunan beban fisik terhadap perkembangan otot pada janin manusia.
Selain itu, studi terhadap entitas medis ini
dapat memberikan wawasan tentang pengaruh kondisi mikro dan hipogravitasi
terhadap perkembangan sistem otot janin selama trimester terakhir kehamilan.21
2.2.4
Metode Persalinan
Proses persalinan adalah langkah-langkah dimana
serviks terbuka dan menipis, sementara janin turun ke jalan lahir. Persalinan
dianggap normal ketika kelahiran janin terjadi pada masa kehamilan cukup bulan
(37-42 minggu), terjadi secara spontan dengan presentasi kepala belakang, dan
tidak diiringi oleh masalah kesehatan pada ibu maupun janin. Ketika mencapai
keberhasilan persalinan, berbagai elemen memainkan peran penting, termasuk
faktor-faktor seperti kekuatan tubuh (power), jalur keluar (passage), aspek psikologis,
serta faktor-faktor terkait janin seperti plasenta, dan dukungan dari penolong.
Penting untuk memperhatikan faktor-faktor ini karena kegagalan mendeteksi
mereka secara dini dapat menyebabkan risiko kematian pada ibu dan bayi.22
Setiap wanita berharap mengalami persalinan yang
lancar dan sempurna. Ada dua metode persalinan yang umum dikenal, yaitu
persalinan pervaginam atau yang lebih akrab disebut sebagai persalinan alami,
dan operasi caesar, di mana bayi dikeluarkan melalui sayatan pada dinding perut
dan rahim dengan bayi yang memiliki berat lebih dari 500 gram. Operasi caesar
dilakukan oleh tenaga medis dan merupakan keputusan kritis untuk melindungi
keselamatan ibu dan janin. Terdapat beberapa indikasi untuk melakukan operasi
caesar, seperti situasi gawat janin, disproporsi kepala/panggul, kelahiran
prematur, plasenta previa, prolaps tali pusat, posisi janin yang tidak
menguntungkan, panggul sempit, dan preeklampsia. Tingkat operasi caesar di
seluruh dunia terus meningkat. Lebih lanjut, permintaan operasi caesar tanpa
indikasi yang jelas dapat meningkatkan risiko bagi ibu dan bayi pada persalinan
selanjutnya.23
1.
Persalinan Pervaginam
Persalinan pervaginam, atau yang lebih dikenal oleh
masyarakat sebagai persalinan alami, merupakan jenis persalinan yang paling
umum diketahui. Seiring dengan kemajuan teknologi dan meningkatnya berbagai
komplikasi kehamilan, persalinan seksio sesarea semakin menjadi lebih umum,
sementara persalinan pervaginam mengalami penurunan. Sejak tahun 1985,
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan agar jumlah persalinan seksio
sesarea tidak melebihi 10-15% dari total persalinan keseluruhan. Meskipun demikian,
angka persalinan seksio sesarea terus meningkat dalam satu dekade terakhir,
yang menjadi isu kesehatan global.24
2.
Persalinan Sectio Caesarea
Persalinan melalui proses Seksio Sesarea (SC) atau
yang lebih dikenal dengan istilah operasi caesar saat ini menjadi pilihan yang
populer di kalangan wanita. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa risiko yang
terkait dengan melahirkan melalui SC lebih tinggi dibandingkan dengan
persalinan normal, dan biaya untuk prosedur SC juga lebih mahal, yang pada
akhirnya dapat meningkatkan beban keuangan negara yang seharusnya dapat
dialokasikan ke sektor pembiayaan lainnya. Menurut perkiraan World Health
Organization (WHO) pada tahun 2018, sekitar 35% dari total persalinan dilakukan
melalui pembedahan atau Seksio Caesarea.25
Ada berbagai alasan atau tanda yang dapat
menunjukkan perlunya seorang ibu menjalani operasi caesar, baik itu didasarkan
pada alasan medis maupun non medis. Operasi caesar memiliki dua jenis indikasi,
yaitu indikasi medis dan non medis. Indikasi merupakan kriteria yang harus
dipenuhi dan menjadi dasar untuk menentukan apakah suatu tindakan akan
dilakukan atau tidak. Dua kategori utama yang memengaruhi indikasi medis
operasi caesar adalah faktor-faktor yang terkait dengan janin dan faktor-faktor
yang terkait dengan ibu. Faktor janin mencakup bayi yang memiliki berat yang
sangat besar, posisi abnormal, risiko stres bagi bayi, kelainan janin, masalah
plasenta, kelainan tali pusat, dan kehamilan kembar. Sementara itu, faktor ibu
melibatkan usia, jumlah kelahiran sebelumnya (paritas), kondisi panggul,
penyumbatan jalan lahir, kelainan kontraksi rahim, ketuban pecah dini (KPD),
dan preeklampsia. Di sisi lain, indikasi non medis melibatkan faktor-faktor
seperti kepentingan sosial dalam kasus High Social Value Baby (HSVB) dan
keputusan atas permintaan pasien sendiri (APS) atau perencanaan tertentu.23
Proses melahirkan melalui sectio caesarea dianggap
menakutkan karena dapat berisiko menyebabkan kematian. Namun, dengan kemajuan
ilmu kedokteran, risiko persalinan caesar dapat diminimalkan. Oleh karena itu,
saat ini, terjadi peningkatan dalam jumlah kelahiran melalui sectio caesarea. Meningkatnya
frekuensi persalinan dengan metode sectio caesarea dari tahun ke tahun di
berbagai rumah sakit di seluruh Indonesia menjadi perhatian bersama antara
pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia dan pemerintah (Departemen Kesehatan dan
Departemen Kesejahteraan Sosial). Surat edaran dikeluarkan oleh Direktorat
Jendral Pelayanan Medik (Dirjen Yanmedik) Departemen Kesehatan RI, yang
menetapkan bahwa angka persalinan sectio caesarea untuk rumah sakit pendidikan
atau rujukan sebaiknya tidak melebihi 20-25% dari total jumlah persalinan.26
2.2.5
Hubungan Ketuban Pecah
Dini Terhadap Tindakan Persalinan Prematur
Ketuban
Pecah Dini (KPD) dapat mempengaruhi terjadinya persalinan prematur karena
selaput ketuban berfungsi sebagai penghalang untuk bayi dalam kandungan. Jika
ketuban pecah sebelum usia kehamilan 37 minggu, biasanya diperlukan pematangan
paru sebelum bayi dilahirkan. Selain itu, persalinan prematur dapat dipicu oleh
kontraksi uterus yang dihasilkan dari pecahnya selaput ketuban pada usia
kehamilan yang prematur.27
Ketuban
pecah dini merupakan salah satu penyebab persalinan prematur, dengan insidensi
sekitar 30-40%. Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat angka
kematian ibu dan neonatus sekitar 305 per 100.000 kelahiran. Penelitian di
Indonesia menunjukkan bahwa 5-10% dari seluruh kehamilan mengalami ketuban
pecah dini. Pada persalinan prematur, 1/3 diantaranya terkait dengan ketuban
pecah dini, dan dari kasus ketuban pecah dini, 60% terjadi pada kehamilan cukup
bulan.
Komplikasi
dari ketuban pecah dini termasuk persalinan prematur, yang didefinisikan
sebagai persalinan di bawah usia kehamilan 37 minggu atau bayi lahir dengan
berat kurang dari 2.500 gram. Di dunia,
kelahiran prematur menyumbang sekitar 75-80% dari seluruh kelahiran bayi yang
meninggal pada usia kurang dari 28 hari.1
Ketuban Pecah Dini (KPD) memberikan kontribusi
sebagai faktor penyebab sepertiga dari kejadian kelahiran prematur yang dapat
meningkatkan morbiditas (masalah kesehatan) dan menyumbang sekitar 70% dari
kematian ibu dan neonatus di seluruh dunia. Kesadaran akan risiko yang terkait
dengan KPD menjadi kunci dalam upaya pencegahan dan manajemen untuk mengurangi
dampak buruknya terhadap kesehatan ibu dan bayi baru lahir.28
2.3
Kerangka Teori
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Jenis
penelitian
Desain
penelitian yang digunakan
pada penelitian ini adalah cross
sectional dengan metode deskriptif kuantitatif yaitu suatu penelitian untuk
mempelajari hubungan antara variabel independen (bebas) dengan variabel
dependen (terikat) dengan pengukuran sekali dan dalam waktu yang bersamaan. Hal
ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan Ketuban
Pecah Dini Terhadap Persalinan Prematur di RSUD Meuraxa dan RSPUR Banda
Aceh.
3.2
Populasi dan sampel penelitian
3.2.1
Populasi
1.
Populasi Target
Populasi yang
digunakan pada penelitian ini yaitu seluruh data rekam medik
ibu hamil dan telah melahirkan di Obstetri dan Ginekologi di RSUD Meuraxa dan RSPUR
2.
Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau di penelitian ini adalah data rekam medik ibu yang
melahirkan dengan KPD dan non KPD di RSUD Meuraxa dan RSPUR.
3.2.2
Sampel
Sampel merupakan sebagian kecil dari populasi
yang biasa digunakan untuk penelitian yang memenuhi kriteria inklusi di
bagian Obstetri dan Ginekologi.
Untuk penelitian ini, sampel digunakan adalah pasien melahirkan dengan KPD di
RSUD Meuraxa dan RSPUR Kota Banda
Aceh. Sampel diambil dengan
menggunakan cara menghitung besarnya populasi
yang terpilih sebagai sample. Untuk menghitung sample menggunakan rumus sebagai
berikut:
a.
Kriteria
Inklusi
Ibu hamil dengan KPD dan hamil dengan Non KPD yang
melahirkan di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Meuraxa dan RSPUR
b.
Kriteria
Ekslusi
1.
Ibu dengan riwayat penyakit seperti diabetes,
hipertensi pada eklamsia, penyakit jantung, paru, ginjal, neuroogi
2.
Ibu hamil dengan memiliki riwayat plasenta
(plasenta previa, solusio plasenta)
3.
Bayi yang dilahirkan dengan kelainan kongenital
seperti hernia diafragmatika atresia atau stenosis saluran pernafasan,
hipoplasia paru.
3.3
Variabel
Penelitian
3.3.1
Variabel Bebas (Independen)
Variabel bebas dalam
penelitian ini adalah Ketuban Pecah Dini.
3.3.2
Variable Terikat (Dependen)
Variabel terikat dalam penelitian
ini adalah
Persalinan Prematur.
3.4
Definisi Operasional
Penelitian
Variabel |
Definisi operasional |
Alat Ukur |
Cara Ukur |
Hasil Ukur |
Skala Ukur |
|
|
||||||
Usia ibu |
Usia ibu saat hamiClick or tap here to enter
text. |
Rekam Medik |
Self assessment |
1. Beresiko
(Usia ibu <20 dan >35 tahun) 2. Tidak
beresiko (Usia ibu 20-35 tahun) |
Nominal |
|
Ketuban Pecah
Dini |
Robeknya selaput ketuban pada setiap saat sebelum
persalinan dimulai |
Rekam Medik |
Self
assesssment |
1. KPD:
Kehamilan prematur/(PPROM) sebelum usia kehamilan 37 minggu atau KPD cukup
bulan/(PROM) usia kehamilan 37-42 minggu 2. Non KPD:
Ketuban pecah pada waktunya (saat terjadinya persalinan) |
Nominal |
|
Persalinan
Prematur |
Persalinan yang terjadi sebelum 37 minggu usia
kehamilan |
Rekam Medik |
Self assessment |
1.Aterm (usia
kehamilan ≥37 minggu) 2.Prematur
(Usia kehamilan <37 minggu) |
Nominal |
|
Jumlah Paritas |
Jumlah anak
yang sudah dilahirkan ibu |
Rekam Medik |
Self assessment |
1.Primipara:
Kelahiran pertama kali 2.Multipara:
Jumlah kelahiran lebih dari satu kali 3.Grandemultipara:
Jumlah kelahiran ≥ 5 kali |
Nominal |
|
3.5
Teknik Pengambilan Sample
Penelitian ini
menggunakan data sekunder dari rekapitulasi catatan medik. Data tersebut
berasal dari catatan medik seluruh ibu hamil yang dirawat di bagian obstetri
dan ginekologi (Obgyn) RSUD Meuraxa dan RSPUR Banda Aceh. Setelah data diperoleh,
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu ibu dengan ketuban pecah dini (KPD) dan ibu
tanpa (KPD). Data dari kedua kelompok
tersebut kemudian diproses untuk menghasilkan distribusi frekuensi dan insiden
KPD dan tanpa KPD di bagian Obgyn RSUD Meuraxa dan RSPUR
3.6
Tempat
dan Waktu Penelitian
3.6.1
Tempat Penelitian
Tempat penelitian dilakukan di RSUD Meuraxa dan RSPUR Kota Banda Aceh
3.6.2
Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilakukan pada bulan Februari – Mei 2024.
3.7
Rancangan
Pengolahan Data Dan Analisis Data
Strategi analisis yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah uji Chi-Square untuk mengevaluasi hubungan antara variabel dependen
(persalinan prematur) dan variabel independen (ketuban pecah dini). Uji
statistik Chi-Square akan dilakukan dengan batas kemaknaan α = 0,05. Hasil uji
akan diinterpretasikan sebagai berikut: jika nilai p value ≤
0,05, maka terdapat hubungan
yang signifikan antara ketuban pecah dini dan persalinan prematur; sebaliknya, jika nilai p value > 0,05, maka tidak terdapat hubungan yang signifikan.Analisis data dilakukan
dengan dua tahap yaitu analisis univariat dan analisis bivariat
1.
Analisis Univariat
Analis Univariat dilakukan untuk mendeskripsikan
variasi eluruh variabel yang digunakan dengan cara membuat tabel distribusi
frekuensi
2.
Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan
antara variabel independent dengan variabel dependent sehingga ada atau
tidaknya hubungan antara ketuban pecah dini dan prematur dan uji statistik yang
dilakukan pada analisis ini adalah uji Chi square. Analisis bifariat yang
dilakukan pada penelitian ini adalah analisis Hubungan ketuban pecah dini
dengan prematur
3.8
Alur Penenelitian
DAFTAR PUSTAKA
1. Primadella
Fegita BK. Nusantara Hasana Journal. Nusant Hasana J. 2023;2(9):185-190.
2. Mellisa
S. Faktor Risiko Ketuban Pecah Dini. J Med Harapan.
2021;03(01):1645-1648.
https://jurnalmedikahutama.com/index.php/JMH/article/view/332/231
3. Rima
Novirianthy, Safarianti, Maimun Syukri, Cut Meurah Yeni MIA. Profil Ketuban
Pecah Dini pada Ibu Bersalin di RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. J Kedokt
Syiah Kuala. 2021;21(3):250-249. doi:10.24815/jks.v21i3.21299
4. Kharismawati
AHP. HUBUNGAN USIA KEHAMILAN DAN KADAR KADAR HEMOGLOBIN PADA PENDERITA KETUBAN
PECAH DINI DI RSU SYLVANI BINJAI TAHUN 2019. J Kedokt dan Kesehat Fak Kedokt
Univ Islam Sumatera Utara. 2021;20(1):1-8.
5. Syarwani
TI, Tendean HMM, Wantania JJE. Gambaran Kejadian Ketuban Pecah Dini (KPD) di
RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado Tahun 2018. Med Scope J.
2020;1(2):24-29. doi:10.35790/msj.1.2.2020.27462
6. Mohd.
Andalas, Cut Rika Maharani ERH, Muhammad Reva Florean Z. Ketuban pecah dini dan
tatalaksananya. Kedokt Syiah Kuala. 2019;19(3):188-192.
7. Oroh
S, Suparman E, Tendean HMM. Karakteristik Persalinan Prematur Di Rsup Prof. Dr.
R. D. Kandou Manado. e-CliniC. 2015;3(2). doi:10.35790/ecl.3.2.2015.8605
8. Lenny
Sijabat, Idona Gokmarina, Firma Simatupang, Siska Suci Triana Ginting, Vidya
Silvyani Audry. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Persalinan Prematur Di
Rsia Stella Maris Medan Tahun 2022. Termom J Ilm Ilmu Kesehat dan Kedokt.
2022;1(1):22-31. doi:10.55606/termometer.v1i1.949
9. Negara
KS, Mulyana RS, Pangkahila ES. Buku Ajar Ketuban Pecah Dini.
10. Pradana
T, Surya G. Karakteristik Ibu Bersalin Dengan Ketuban Pecah Dini (Aterm &
Preterm) Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Periode Juli 2015-Juni
2016. J Med Udayana. 2016;9(7):92-97.
11. Rif’ati
NL, Kristanto H, Wijayati PS, Arkhaesi N. Hubungan korioamnionitis dengan
Asfiksia Neonatus pada kehamilan dengan ketuban pecah dini. Medica Hosp J Clin Med. 2018;5(2):1143-1153.
doi:10.36408/mhjcm.v5i2.361
12. Lindo
M, Wildan DR. Ketuban Pecah Dini dan Oligohidramnion pada Kehamilan Preterm. JIKA
(Jurnal Ilmu Kesehat Abdurrab). 2023;1(2):81-87.
https://jurnal.univrab.ac.id/index.php/jika/article/view/3685/1532
13. Vivin
Yuni Astutik ND. STUDI TENTANG KONDISI KETUBAN DAN UMUR KEHAMILAN DENGAN RESIKO
TERJADINYA ASFIKSIA NEONATORUM. Published online 2021:18-24.
14. Hwxedq
HLU, Kosim MS. Pemeriksaan Kekeruhan Air Ketuban. 2010;11(5):379-384.
15. Kurniawan
FS, Susanto R. Karakteristik pasien ketuban pecah dini (KPD) dengan persalinan
preterm di RSUD Benyamin Guluh Kolaka. Tarumanagara Med J.
2023;5(1):47-51. doi:10.24912/tmj.v5i1.24381
16. yayan
yustika saifullah, masita fujiko, sigit dwi pramono, indah lestari M hamsa.
Hubungan Diabetes Mellitus Gestasional Dengan Kelahiran Prematur. J Mhs
Kedokt. 2022;2(5):359-367.
17. Herman
SJTH. Buku Acuan Persalinan Kurang Bulan (Prematur) 1. Buku Acuan Persalinan
Kurang Bulan. Published online 2020:1-219.
18. SALSABILA
IRBAH AZHARI SM. Hang tuah medical journal. Hang Tuah Med J.
2018;17(1):35-46.
19. Setiabudi
MT, Anggraheny HD, Arintya YC. Analisis Faktor Risiko Kejadian Persalinan
Prematur di RSUD Tugurejo Semarang. Univ Muhammadiyah Semarang.
Published online 2012:1-8.
20. Maita
L. Faktor Ibu yang Mempengaruhi Persalinan Prematur di RSUD Arifin Achmad
Pekanbar. J Kesehat Komunitas. 2012;2(1):31-34.
doi:10.25311/keskom.vol2.iss1.39
21. Sekulić
S, Jakovljević B, Korovljev D, et al. Chronic Polyhydramnios: A Medical Entity
Which Could Be a Model of Muscle Development in Decreased Mechanical Loading
Condition. Front Physiol. 2022;12(January):1-6.
doi:10.3389/fphys.2021.810391
22. Akademi
Kebidanan Wira Husada Nusantara Malang Q. Kajian Metode Persalinan Normal
Dengan Bantuan Cermin Pada Persalinan Kala II Ibu Primigravida. Care J Ilm
Ilmu Kesehat. 2019;7(2):61-68.
23. Fadli
A, Fujiko M, Gayatri SW, Hamsah M, Syamsu RF. Karakteristik Ibu Hamil yang
Melakukan Tindakan Section Caesarean di Rumah Sakit Sitti Khadijah Makassar
Periode 2019 – 2021. Fakumi Med J J Mhs Kedokt. 2019;3(4):261-268.
https://fmj.fk.umi.ac.id/index.php/fmj
24. Ekwendi
AS, Mewengkang ME, Wagey FMM. Perbandingan Persalinan Seksio Sesarea Dan
Pervaginam Pada Wanita Hamil Dengan Obesitas. e-CliniC. 2016;4(1).
doi:10.35790/ecl.4.1.2016.10951
25. Rosni
Fitri Yanti, Nizam Ismail AF. ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
PENGAMBILAN KEPUTUSAN PERSALINAN SECTIO CAESAREA. J Kesehat.
2021;9(3):140-149.
26. Fajrini
F. Analisis Hubungan antara Pengetahuan, Psikologi dan Pengalaman bersalin Ibu
denganPemilihan Proses Persalinan Normal atau Caesarea Pada Pasien Melahirkan
di RSIA Hermina Ciputat. J Kedokt dan Kesehat. 2016;12(2):121-128.
27. Panada
Sedianing Drastita, Hardianto G, Fitriana F, Utomo MT. Faktor Risiko Terjadinya
Persalinan Prematur. Oksitosin J Ilm
Kebidanan. 2022;9(1):40-50. doi:10.35316/oksitosin.v9i1.1531
28. Sabaruddin
H, Muthaher C, AR MR. Karakteristik Kehamilan Dengan Ketuban Pecah Dini Preterm
Di Rsud Ulin Banjarmasin. J Publ Kesehat Masy Indones. 2019;6(1):36-39. doi:10.20527/jpkmi.v6i1.6883
No comments:
Post a Comment