Friday, 9 February 2024

HUBUNGAN KETUBAN PECAH DINI TERHADAP TINDAKAN PERSALINAN PREMATUR DI RSUD MEURAXA DAN RSPUR KOTA BANDA ACEH

  admin 2       Friday, 9 February 2024

 HUBUNGAN KETUBAN PECAH DINI TERHADAP TINDAKAN PERSALINAN PREMATUR DI RSUD MEURAXA DAN RSPUR

KOTA BANDA ACEH


BAB I

PENDAHULUAN

1.1         Latar belakang

Persalinan adalah suatu kejadian fisiologis yang dihadapi oleh wanita, tetapi perlu diakui bahwa situasi fisiologis tersebut dapat berubah menjadi patologis. Saat ini, berbagai masalah dalam kehamilan yang dapat mengancam keselamatan ibu hamil semakin sering terjadi, dan salah satu contohnya adalah ketuban yang pecah sebelum waktunya, yang dapat meningkatkan risiko keparahan dan kematian baik bagi ibu maupun bayi.1

Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah kondisi di mana selaput ketuban pecah atau robek sebelum proses persalinan dimulai. Berdasarkan waktu kejadiannya, KPD dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu premature rupture of membranes (PROM) dan preterm premature rupture of membranes (PPROM). PROM terjadi pada atau setelah usia kehamilan 37 minggu, yang disebut juga sebagai KPD aterm. Sementara itu, PPROM atau yang juga dikenal sebagai KPD preterm terjadi sebelum usia kehamilan mencapai 37 minggu.2

Prevalensi Ketuban Pecah Dini (KPD) secara global berkisar antara 2-10%, dan kondisi ini memengaruhi sekitar 5-15% dari keseluruhan kehamilan, dengan tingkat kejadian tertinggi tercatat di wilayah Afrika (7,8). Di Indonesia, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, angka kejadian KPD mencapai 5,6% dari total kehamilan. Di Provinsi Aceh pada tahun yang sama, kasus KPD mencapai 3,2%. Sebuah penelitian yang dilakukan di RSUDZA pada tahun 2019 mencatat bahwa insidensi KPD mencapai 19,1%.3

  Menurut World Health Organization (WHO), kematian dan kesakitan ibu hamil, melahirkan, dan nifas tetap menjadi tantangan signifikan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Setiap tahun, lebih dari 585.000 ibu mengalami kematian selama kehamilan atau persalinan.4 Ketuban Pecah Dini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kelahiran prematur, dengan tingkat kejadian berkisar antara 30-40%. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tercatat bahwa angka kematian ibu mencapai 305 per 100.000 kelahiran hidup, sementara angka kematian neonatus mencapai 32 per 1.000 kelahiran hidup. ketuban pecah dini merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu dan neonatus. Meskipun begitu, hingga saat ini, belum terdapat data yang secara pasti mencerminkan angka kejadian ketuban pecah dini di tingkat nasional.5

Pada kasus ibu yang memiliki riwayat (KPD) merupakan faktor risiko utama untuk kejadian KPD atau persalinan prematur pada kehamilan berikutnya.6 Berbagai faktor yang berkontribusi pada terjadinya Ketuban Pecah Dini (KPD) Faktor-faktor risiko yang terkait dengan KPD mencakup usia, jenis pekerjaan, kehamilan ganda, paritas, anemia, infeksi intrauterin, kondisi sosial ekonomi yang rendah, pola hidup yang tidak sehat (merokok dan penggunaan obat-obatan), indeks massa tubuh di bawah 19,8 kg/m2, tingkat kecukupan konsumsi makanan, sejarah KPD sebelumnya, serta infeksi pada kehamilan lainnya seperti bakterial vaginosis, yang dianggap sebagai faktor risiko potensial terjadinya KPD.3

Persalinan prematur secara klinis didefinisikan sebagai persalinan yang terjadi pada rentang usia kehamilan antara 20 hingga kurang dari 37 minggu, yang dihitung sejak hari pertama menstruasi terakhir. Di negara-negara berkembang, prevalensinya mencapai sekitar 7% dari total persalinan. Dalam konteks pelayanan obstetrik, masalah prematuritas menjadi aspek yang esensial untuk dibahas, mengingat bahwa hingga saat ini, bayi prematur tetap menjadi salah satu faktor utama yang berkontribusi pada tingginya angka kematian bayi di Indonesia Persalinan prematur tidak hanya memengaruhi angka kematian bayi, tetapi juga menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas neonatal secara global, dengan tingkat mencapai 60-80%.7

Oleh karena itu, upaya pencegahan persalinan prematur dapat dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor risiko yang terkait, termasuk riwayat persalinan prematur sebelumnya, usia ibu, jumlah kehamilan, jarak antar kehamilan, kejadian ketuban pecah dini, plasenta previa, serta kondisi preklampsia/eklampsia.8

Dari penjelasan sebelumnya, peneliti menyimpulkan bahwa adanya Hubungan ketuban pecah dini dan persalinan prematur. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengeksplorasi dan menilai Hubungan ketuban pecah dini dan persalinan prematur, khususnya dalam konteks upaya pencegahan ketuban pecah dini terhadap tindakan persalinan prematur di RSUD Meuraxa dan RSPUR Kota Banda Aceh selama periode tahun 2021-2023.

1.2              Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada “Hubungan Ketuban Pecah Dini Terhadap Tindakan Persalinan Prematur di RSUD Meuraxa dan RSPUR?”

1.3              Tujuan Penelitian

1.3.1        Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini untuk Menganalisa Hubungan Ketuban Pecah Dini Terhadap Tindakan Persalinan Premature di RSUD Meuraxa dan RSPUR Kota Banda Aceh.

 

1.3.2        Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini :

a.         Mengidentifikasi karakteristik ibu hamil di RSUD Meuraxa dan RSPUR Kota Banda Aceh.

b.        Mengetahui angka kejadian KPD di RSUD Meuraxa dan RSPUR Kota Banda Aceh.

c.         Mengetahui angka kejadian persalinan prematur di RSUD Meuraxa dan RSPUR Kota Banda Aceh.

d.        Menganalisa Hubungan Ketuban Pecah Dini Terhadap Tindakan Persalinan Prematur (KPD) di RSUD Meuraxa dan RSPUR Kota Banda Aceh.

 

1.4         Manfaat Penelitian

1.4.1        Bagi peneliti

Mendapat tambahan pengetahuan dan pengalaman baru yang dapat diterapkan dalam masyarakat. Selain itu, hasil ini dapat menjadi landasan data bagi peneliti lain yang ingin mengeksplorasi lebih lanjut mengenai korelasi antara Ketuban Pecah Dini Terhadap Tindakan Persalinan Prematur.

1.4.2        Bagi Institusi

Temuan dari penelitian ini dapat menjadi acuan dan memberikan kontribusi pada pemahaman serta pengetahuan mahasiswa kedokteran mengenai Ketuban Pecah Dini Terhadap Tindakan Persalinan Prematur.

1.4.3        Bagi Masyarakat

Diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat sebagai bahan informasi baru terkait Ketuban Pecah Dini Dengan Tindakan Persalinan Prematur. Serta masyarakat dapat mencegah terjadinya prematur dengan mencegah faktor risiko khususnya ketuban pecah dini.

 

1.5              Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini melibatkan seluruh pasien yang menjalani ketuban pecah dini di RSUD Meuraxa dan RSPUR. Sampel untuk penelitian ini diambil melalui penggunaan data sekunder yang terdapat dalam Rekam medis.

 

1.6              Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah:

Ho : Tidak ada hubungan Ketuban Pecah Dini Terhadap Tindakan Persalinan Prematur di RSUD Meuraxa dan RSPUR Kota Banda Aceh.

Ha : Hipotesis yang menyatakan adanya hubungan antara variabel dependen dan variabel independen yaitu adanya Hubungan Ketuban Pecah Dini Terhadap Tindakan Persalinan Prematur di RSUD Meuraxa dan RSPUR Kota Banda Aceh.

 

 

 

 

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

2.1         Ketuban Pecah Dini

2.1.1        Definisi

Pecahnya ketuban sebelum waktu yang diinginkan, yang dikenal sebagai Ketuban Pecah Dini (KPD) atau juga sering disebut sebagai Premature Rupture of the Membrane (PROM), merujuk pada kondisi di mana selaput ketuban pecah sebelum proses persalinan. Jika KPD terjadi sebelum mencapai usia kehamilan 37 minggu, kondisi ini disebut sebagai pecahnya ketuban pada kehamilan premature.5

Ketuban Pecah Dini (KPD) dapat dijelaskan sebagai gangguan pada membran janin yang ditandai dengan keluarnya cairan dari vagina secara spontan sebelum proses persalinan terjadi. Apabila peristiwa ini terjadi setelah usia kandungan mencapai ≥ 37 minggu, kondisi tersebut dikenal sebagai Premature Rupture of Membranes (PROM). Sebaliknya, ketika ketuban pecah dini terjadi pada usia kandungan < 37 minggu, istilah yang digunakan adalah Preterm Premature Rupture of Membranes (P-PROM).3

2.1.2   Epidemiologi

Kejadian Ketuban Pecah Dini (KPD) mencapai 10-12% dari seluruh kehamilan. Pada kehamilan aterm, insiden KPD berkisar antara 6-19%, sementara pada kehamilan preterm, angkanya sekitar 2-5%. Menurut laporan lain, KPD terjadi sekitar 6-8% pada wanita sebelum mencapai usia kehamilan 37 minggu dan secara langsung mendahului 20-50% dari semua kelahiran prematur. Insiden KPD di seluruh dunia bervariasi antara 5-10%, dengan hampir 80% terjadi pada usia kehamilan aterm. Sebaliknya, insiden KPD pada kehamilan preterm diperkirakan sekitar 3-8%. Dalam kondisi normal, sekitar 8-10% wanita hamil aterm akan mengalami KPD, sedangkan hanya 1% terjadi pada kehamilan preterm. Prevalensi KPD preterm di seluruh dunia mencapai 3-4,5% dari keseluruhan kehamilan dan merupakan antara 6-40% dari semua persalinan preterm atau prematuritas.9

2.1.3        Etiologi

Keputihan merupakan indikator umum adanya infeksi pada saluran rahim dan merupakan penyebab utama dari terjadinya ketuban pecah dini6. Dalam banyak kasus, penyebab Ketuban Pecah Dini (KPD) masih belum diketahui dengan pasti. Beberapa faktor risiko yang terkait dengan KPD melibatkan infeksi intrauterin, malposisi janin, serviks inkompeten, pendarahan antepartum, usia ibu di bawah 20 tahun atau di atas 35 tahun, multigravida, kebiasaan merokok, status sosial ekonomi, riwayat abortus atau persalinan prematur sebelumnya, riwayat KPD sebelumnya, defisiensi nutrisi, faktor golongan darah, dan trauma. Selain itu, karakteristik ibu yang melahirkan seperti usia kehamilan, usia ibu, tingkat pendidikan, pekerjaan ibu, riwayat KPD sebelumnya, dan gravida juga dapat memengaruhi kejadian KPD.10

Meskipun penyebab pasti dari Ketuban Pecah Dini (KPD) belum sepenuhnya diketahui, beberapa faktor predisposisi yang dapat memicu KPD termasuk masa gestasi, usia ibu, paritas, infeksi, anemia, kehamilan ganda, peningkatan tekanan intrauterin, dan faktor keturunan. Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan KPD melibatkan infeksi intrauterin pada awal kehamilan, status sosial ekonomi rendah, perawatan prenatal yang tidak memadai, dan kurangnya asupan nutrisi yang memadai selama kehamilan.4

Ketuban Pecah Dini (KPD) memiliki penyebab yang bersifat multifaktorial. Infeksi menjadi faktor sebagai penyebab utama sekaligus dapat muncul sebagai komplikasi dari KPD. Infeksi sekunder yang terjadi secara asenden juga dapat berlangsung pada kasus KPD, yang selanjutnya dapat menyebabkan kondisi seperti desiduitis, korioamnionitis, atau infeksi pada janin.11

Ketuban Pecah Dini (KPD) memiliki penyebab yang bersifat multifaktor, dan umumnya dikaitkan dengan peningkatan stres fisik yang dapat melemahkan membran ketuban. Analisis distribusi kasus KPD berdasarkan jumlah paritas menunjukkan bahwa kejadian KPD lebih sering terjadi pada ibu yang memiliki beberapa kali melahirkan (multipara). Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian oleh Sumadi dan Ariyani, yang menyatakan bahwa KPD lebih sering terjadi pada wanita multipara.5

Meskipun berbagai etiologi terlibat, seringkali tidak ada penyebab yang jelas yang dapat diidentifikasi pada pasien yang mengalami Ketuban Pecah Dini (KPD). Ketuban yang pecah selama persalinan pada umumnya disebabkan oleh kontraksi uterus dan peregangan berulang. Pecahnya selaput ketuban terjadi karena adanya perubahan biokimia pada daerah tertentu, menyebabkan selaput ketuban bagian bawah menjadi rapuh, bukan karena seluruh selaput ketuban yang menjadi rapuh. Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi matriks ekstraselular. Perubahan dalam struktur, jumlah sel, dan katabolisme kolagen mengakibatkan perubahan aktivitas kolagen, yang pada akhirnya menyebabkan pecahnya selaput ketuban.12

 

2.1.4        Fungsi Cairan Ketuban

Fungsi dari cairan ketuban antara lain:

a)      Factor

b)      Melindungi janin dari trauma eksternal.

c)      Memungkinkan janin bergerak dengan bebas.

d)      Menjaga suhu tubuh janin agar tetap stabil.

e)      Meratakan tekanan di dalam uterus pada saat persalinan (partus), membantu membuka serviks.

f)       Membersihkan jalan lahir dengan cairan steril ketika ketuban pecah, dan mempengaruhi keadaan di dalam vagina untuk mengurangi risiko infeksi pada bayi.13

Cairan (AK) beredar dengan cara janin menelan, menghirup, dan diekskresikan melalui urin janin. Secara normal, air ketuban bersifat jernih dan memiliki warna agak kekuningan, melapisi janin di dalam rahim selama masa kehamilan.Air ketuban yang terdapat di dalam kantong ketuban memegang peran penting dengan beberapa fungsi, antara lain:

a.              Memungkinkan janin untuk bergerak bebas dan mengembangkan sistem muskuloskeletal.

b.             Menjaga suhu janin dalam lingkungan yang relatif stabil, melindungi janin dari kehilangan panas.

c.              Mendukung perkembangan paru-paru janin.

d.             Berfungsi sebagai bantalan dan perlindungan bagi janin, di mana janin dapat menghirup dan menelan cairan tersebut, mendorong perkembangan sistem pernapasan dan pencernaan yang normal.

e.              Mengandung nutrien, hormon, dan antibodi yang melindungi janin dari penyakit.

f.               Air ketuban berkembang dan mengisi kantong ketuban setelah dua minggu pembuahan. Pada minggu-minggu awal kehamilan, air ketuban utamanya berasal dari ibu, tetapi setelah sekitar dua puluh minggu, urin janin menjadi sebagian besar dari air ketuban.

g.             Air ketuban terus-menerus ditelan, dihirup, dan digantikan melalui proses ekskresi, yang melibatkan proses seperti pengeluaran urin. Pentingnya air ketuban dihirup ke dalam paru-paru janin membantu paru-paru berkembang dengan sempurna. Saat ketuban pecah, baik selama persalinan spontan maupun sebelumnya (ketuban pecah dini), sebagian besar air ketuban tetap berada dalam rahim sampai neonatus lahir.14

 

2.1.5        Mekanisme Ketuban Pecah Dini

Ketuban pecah dini dapat dipicu oleh sejumlah faktor. Namun, mekanisme utamanya melibatkan kerusakan integritas jaringan ikat korioamnion, yang disertai dengan penurunan kolagen dalam jaringan, menyebabkan kehilangan kekuatan mekanik secara tiba-tiba. Faktor risiko yang dapat memicu Ketuban Pecah Dini meliputi infeksi saluran reproduksi, malpresentasi janin, kehamilan ganda atau gemelli, inkompeten serviks, hingga trauma pada area abdomen.15

Ada beberapa mekanisme yang dapat menyebabkan ketuban pecah sebelum persalinan. Salah satu kemungkinan adalah melemahnya fisiologis membran, yang dikombinasikan dengan kekuatan yang dihasilkan oleh kontraksi uterus. Infeksi intramniotik seringkali terkait dengan Pecahnya Ketuban Prematur yang Berulang (PPROM). Faktor risiko utama PPROM melibatkan riwayat PPROM sebelumnya, panjang serviks yang pendek, perdarahan vagina pada trimester kedua atau ketiga, uterus yang terlalu meregang, defisiensi nutrisi seperti tembaga dan asam askorbat, gangguan jaringan ikat, indeks massa tubuh rendah, status sosial ekonomi rendah, merokok, dan penggunaan obat-obatan terlarang.

Meskipun terdapat berbagai etiologi, seringkali tidak ada penyebab yang jelas yang dapat diidentifikasi pada pasien yang mengalami Ketuban Pecah Dini (KPD).

Pecahnya selaput ketuban dalam persalinan umumnya disebabkan oleh kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena terjadi perubahan biokimia pada daerah tertentu, menyebabkan selaput ketuban bagian bawah menjadi rapuh, bukan karena seluruh selaput ketuban yang menjadi rapuh. Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi matriks ekstraselular. Perubahan struktur, jumlah sel, dan katabolisme kolagen mengakibatkan aktivitas kolagen berubah dan menyebabkan selaput ketuban pecah.12

2.2         Persalinan Prematur

2.2.1   Defenisi Persalinan Prematur

Persalinan prematur dapat didefinisikan sebagai persalinan yang terjadi pada usia kehamilan antara 20 hingga kurang dari 37 minggu, dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Di negara berkembang, insiden persalinan prematur mencapai sekitar 7% dari total persalinan.7 Definisi kelahiran prematur menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah semua kelahiran yang terjadi pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu lengkap atau kurang dari 259 hari sejak tanggal pertama menstruasi terakhir seorang wanita. Kelahiran prematur menjadi semakin umum setiap tahunnya, dan peningkatan ini terjadi hampir di seluruh negara. Lebih dari 60% dari total kelahiran prematur terjadi di wilayah Afrika dan Asia Selatan, meskipun kelahiran prematur pada dasarnya merupakan masalah global yang mempengaruhi berbagai negara di seluruh dunia.16 

 

 

 

 

2.2.2   Epidemiologi Persalinan Prematur

Pertolongan Kesehatan Bayi (pkB) berkontribusi sebanyak 75% terhadap kematian perinatal dan lebih dari 50% morbiditas jangka panjang yang terkait dengan kondisi perinatal yang buruk. Meskipun tingkat kelangsungan hidup bayi prematur telah meningkat dalam 20-30 tahun terakhir, peluang bertahan hidup bayi prematur sangat bervariasi antara negara maju dan negara berkembang. Perbedaan ini disebabkan oleh ketersediaan dan kualitas layanan obstetri serta perawatan neonatal di masing-masing negara.17

Persalinan prematur memiki faktor resiko yang sangat beragam, dan 50% di antaranya tidak selalu dapat diidentifikasi pada setiap individu. Beberapa faktor yang berperan meliputi kondisi sosial ekonomi, status nutrisi, kondisi medis, infeksi, penyakit ibu selama kehamilan, kehamilan ganda, tekanan fisik dan mental, kelainan plasenta, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, dan inkompetensi serviks. Secara epidemiologi mengatakan, persalinan prematur memiliki keterkaitan dengan faktor-faktor seperti status sosial ekonomi, usia ibu, kelainan uterus, riwayat persalinan prematur sebelumnya, riwayat abortus, kebiasaan merokok, dan faktor ras. Bayi yang lahir dari ibu yang merokok cenderung memiliki berat badan yang lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang lahir dari ibu yang tidak merokok.7

 

2.2.3        Etiologi Dan Faktor Predisposisi

Kelahiran prematur, yaitu sebelum usia kehamilan 37 minggu, dapat disebabkan oleh faktor medis dan non medis seperti persalinan terlalu dini atau persalinan sesar. Penyebab umum termasuk infeksi, kehamilan kembar, diabetes mellitus, hipertensi, dan mungkin pengaruh genetik. Seringkali, tidak dapat diidentifikasi penyebabnya (WHO, 2018).18

Persalinan kurang bulan atau prematur tetap menjadi masalah global, termasuk di Indonesia, dengan dampak signifikan terkait prevalensi, morbiditas, dan mortalitas perinatal. Persalinan prematur merupakan penyebab utama kematian bayi dan menjadi penyebab kedua setelah pneumonia pada anak di bawah usia lima tahun. Data menunjukkan bahwa persalinan kurang bulan menyumbang sekitar 75% dari kematian perinatal, dan lebih dari 50% dari kasus morbiditas jangka panjang yang terkait dengan kondisi perinatal yang buruk. Meskipun tingkat kelangsungan hidup bayi prematur telah meningkat dalam dua hingga tiga dekade terakhir, peluang bertahan hidup masih sangat dipengaruhi oleh perbedaan antara negara maju dan negara berkembang. Perbedaan ini terkait dengan ketersediaan dan kualitas layanan obstetri serta perawatan neonatal.8

Persalinan prematur dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti Faktor plasenta dan janin pertumbuhan janin terlambat Inkompatibilitas darah, solusio plasenta, plasenta previa, infeksi seperti karioamnionitis, faktor ibu atau maternal (usia, status gizi, paritas, penyakit seperti anemia, hipertensi, diabetes melitus, ginjal, hati, kelainan uterus, riwayat prematuritas berulang), Dan faktor gaya hidup ibu seperti merokok dan minum alkohol.19

1.                Usia

Perkembangan kehamilan dapat dipengaruhi oleh usia ibu; semakin muda atau lebih tua usia ibu, risiko kelahiran prematur pun dapat meningkat. Hubungan ini terkait dengan paritas, di mana terdapat risiko yang lebih tinggi terhadap kelahiran prematur pada multipara muda dan primipara tua. Bila dibandingkan dengan primipara (wanita yang hamil pertama kali) yang berusia 25-29 tahun, risiko kelahiran prematur dua kali lipat pada wanita multipara (telah melahirkan lebih dari satu kali kali) yang berusia kurang dari 18 tahun dan pada primipara yang berusia lebih dari 40 tahun.17

Pada kehamilan yang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun, organ reproduksi seperti rahim dan panggul, bersama dengan komponen lainnya, belum sepenuhnya berkembang dan berfungsi optimal karena masih dalam tahap pertumbuhan. Panggul dan rahim masih memiliki ukuran yang kecil pada usia ini. Selain itu, otot-otot perineum dan otot-otot perut belum mencapai kematangan fungsional, sehingga tidak bekerja secara optimal.

Di sisi lain, kehamilan pada usia lebih dari 35 tahun terkait dengan penurunan daya tahan tubuh dan proses penuaan. Pada usia ini, endometrium (lapisan dalam rahim) mungkin kurang subur, yang dapat meningkatkan risiko kelainan kongenital. Hal ini dapat berdampak pada kesehatan ibu dan perkembangan janin, meningkatkan kemungkinan terjadinya kelahiran prematur. Oleh karena itu, kedua kelompok usia ini memiliki risiko tersendiri yang perlu diperhatikan selama kehamilan.20

2.                Paritas

Dalam suatu penelitian, ditemukan bahwa paritas tinggi, yang mencakup kelompok Multipara dan Grandemultipara, dapat meningkatkan risiko persalinan prematur sebanyak 1,6 kali lipat. Wanita yang telah melahirkan lebih dari satu kali atau termasuk dalam kategori paritas tinggi (Multipara dan Grandemultipara) memiliki risiko lebih tinggi mengalami persalinan prematur. Hal ini disebabkan oleh penurunan fungsi alat reproduksi dan peningkatan risiko perdarahan antepartum. Paritas tinggi ini erat kaitannya dengan peningkatan usia ibu saat melahirkan, yang juga dapat mempengaruhi risiko persalinan prematur.20

Wanita yang masuk dalam kategori paritas tinggi memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami persalinan prematur, disebabkan oleh penurunan fungsi alat reproduksi dan peningkatan risiko perdarahan antepartum, yang dapat mengakibatkan terminasi kehamilan lebih awal. Oleh karena itu, disarankan agar ibu yang telah memiliki tiga anak atau lebih untuk mendapatkan konseling mengenai perencanaan keluarga (KB) dan dianjurkan untuk menggunakan metode kontrasepsi mantap (MOW/MOP).20

3.                Pekerjaan

Penelitian menunjukkan bahwa ibu yang bekerja selama hamil memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kelahiran prematur dibandingkan dengan mereka yang tidak bekerja, dan hal ini memiliki tingkat signifikansi (OR 1,66; CI 95% 1,07-2,58) dengan nilai p <0,05. Schuler et al. (2001) menyatakan bahwa risiko pekerjaan yang dapat mempengaruhi kejadian kelahiran prematur melibatkan faktor seperti bekerja di kantor (OR 1,00), bekerja dalam posisi yang memerlukan lebih banyak duduk (OR 1,00), dan bekerja secara full time (OR 0,80; CI 95% 0,43-1,53).

Hubungan antara pekerjaan dan risiko kelahiran prematur juga dipengaruhi oleh faktor stres, depresi, dan kecemasan yang dapat timbul dari berbagai jenis pekerjaan ibu di kantor, dengan nilai Odds Ratio (OR) sebesar 1,2 (CI 95%, 1.11-1.21).17

4.                Polihidramnion

Polihidramnion adalah kondisi yang terkait dengan penumpukan cairan ketuban yang berlebihan pada trimester ketiga kehamilan, dan kondisi ini dapat bersifat akut atau kronis tergantung pada durasinya. Data yang telah dipublikasikan menunjukkan bahwa selama perkembangan otot, terjadi penurunan pembebanan mekanis pada tahap diferensiasi histokimia akhir. Hal ini menyebabkan penurunan ekspresi rantai berat miosin (MHC) tipe 1, yang pada gilirannya menyebabkan transisi dari otot yang berkontraksi lambat menjadi otot yang berkontraksi cepat.

Dalam polihidramnion kronis, diferensiasi otot histokimia dapat terpengaruh karena penurunan beban fisik yang bersifat permanen. Otot yang paling aktif, seperti otot ekstensor tulang belakang dan otot kaki, dapat menjadi lebih rentan terhadap dampak ini. Penurunan pembebanan mekanis yang berlangsung lama dapat menyebabkan penurunan ekspresi MHC tipe 1, yang mengakibatkan transisi dari otot berkontraksi lambat ke otot berkontraksi cepat. Terutama pada otot ekstensor tulang belakang dan tungkai, jumlah serat otot tipe I dapat mengalami penurunan.

Adanya MHC tipe 1 di semua otot rangka dapat menyebabkan tingkat hipotrofi yang bervariasi tergantung pada persentase MHC tipe 1 dalam otot yang terkena. Perubahan pada otot yang sudah mengalami kelainan sebelumnya dapat lebih memperburuk kondisi otot. Oleh karena itu, polihidramnion kronis idiopatik memberikan kesempatan langka untuk memahami pengaruh penurunan beban fisik terhadap perkembangan otot pada janin manusia.

Selain itu, studi terhadap entitas medis ini dapat memberikan wawasan tentang pengaruh kondisi mikro dan hipogravitasi terhadap perkembangan sistem otot janin selama trimester terakhir kehamilan.21

2.2.4        Metode Persalinan

Proses persalinan adalah langkah-langkah dimana serviks terbuka dan menipis, sementara janin turun ke jalan lahir. Persalinan dianggap normal ketika kelahiran janin terjadi pada masa kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), terjadi secara spontan dengan presentasi kepala belakang, dan tidak diiringi oleh masalah kesehatan pada ibu maupun janin. Ketika mencapai keberhasilan persalinan, berbagai elemen memainkan peran penting, termasuk faktor-faktor seperti kekuatan tubuh (power), jalur keluar (passage), aspek psikologis, serta faktor-faktor terkait janin seperti plasenta, dan dukungan dari penolong. Penting untuk memperhatikan faktor-faktor ini karena kegagalan mendeteksi mereka secara dini dapat menyebabkan risiko kematian pada ibu dan bayi.22

Setiap wanita berharap mengalami persalinan yang lancar dan sempurna. Ada dua metode persalinan yang umum dikenal, yaitu persalinan pervaginam atau yang lebih akrab disebut sebagai persalinan alami, dan operasi caesar, di mana bayi dikeluarkan melalui sayatan pada dinding perut dan rahim dengan bayi yang memiliki berat lebih dari 500 gram. Operasi caesar dilakukan oleh tenaga medis dan merupakan keputusan kritis untuk melindungi keselamatan ibu dan janin. Terdapat beberapa indikasi untuk melakukan operasi caesar, seperti situasi gawat janin, disproporsi kepala/panggul, kelahiran prematur, plasenta previa, prolaps tali pusat, posisi janin yang tidak menguntungkan, panggul sempit, dan preeklampsia. Tingkat operasi caesar di seluruh dunia terus meningkat. Lebih lanjut, permintaan operasi caesar tanpa indikasi yang jelas dapat meningkatkan risiko bagi ibu dan bayi pada persalinan selanjutnya.23

1.             Persalinan Pervaginam

Persalinan pervaginam, atau yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai persalinan alami, merupakan jenis persalinan yang paling umum diketahui. Seiring dengan kemajuan teknologi dan meningkatnya berbagai komplikasi kehamilan, persalinan seksio sesarea semakin menjadi lebih umum, sementara persalinan pervaginam mengalami penurunan. Sejak tahun 1985, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan agar jumlah persalinan seksio sesarea tidak melebihi 10-15% dari total persalinan keseluruhan. Meskipun demikian, angka persalinan seksio sesarea terus meningkat dalam satu dekade terakhir, yang menjadi isu kesehatan global.24

 

 

2.             Persalinan Sectio Caesarea

Persalinan melalui proses Seksio Sesarea (SC) atau yang lebih dikenal dengan istilah operasi caesar saat ini menjadi pilihan yang populer di kalangan wanita. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa risiko yang terkait dengan melahirkan melalui SC lebih tinggi dibandingkan dengan persalinan normal, dan biaya untuk prosedur SC juga lebih mahal, yang pada akhirnya dapat meningkatkan beban keuangan negara yang seharusnya dapat dialokasikan ke sektor pembiayaan lainnya. Menurut perkiraan World Health Organization (WHO) pada tahun 2018, sekitar 35% dari total persalinan dilakukan melalui pembedahan atau Seksio Caesarea.25

Ada berbagai alasan atau tanda yang dapat menunjukkan perlunya seorang ibu menjalani operasi caesar, baik itu didasarkan pada alasan medis maupun non medis. Operasi caesar memiliki dua jenis indikasi, yaitu indikasi medis dan non medis. Indikasi merupakan kriteria yang harus dipenuhi dan menjadi dasar untuk menentukan apakah suatu tindakan akan dilakukan atau tidak. Dua kategori utama yang memengaruhi indikasi medis operasi caesar adalah faktor-faktor yang terkait dengan janin dan faktor-faktor yang terkait dengan ibu. Faktor janin mencakup bayi yang memiliki berat yang sangat besar, posisi abnormal, risiko stres bagi bayi, kelainan janin, masalah plasenta, kelainan tali pusat, dan kehamilan kembar. Sementara itu, faktor ibu melibatkan usia, jumlah kelahiran sebelumnya (paritas), kondisi panggul, penyumbatan jalan lahir, kelainan kontraksi rahim, ketuban pecah dini (KPD), dan preeklampsia. Di sisi lain, indikasi non medis melibatkan faktor-faktor seperti kepentingan sosial dalam kasus High Social Value Baby (HSVB) dan keputusan atas permintaan pasien sendiri (APS) atau perencanaan tertentu.23

Proses melahirkan melalui sectio caesarea dianggap menakutkan karena dapat berisiko menyebabkan kematian. Namun, dengan kemajuan ilmu kedokteran, risiko persalinan caesar dapat diminimalkan. Oleh karena itu, saat ini, terjadi peningkatan dalam jumlah kelahiran melalui sectio caesarea. Meningkatnya frekuensi persalinan dengan metode sectio caesarea dari tahun ke tahun di berbagai rumah sakit di seluruh Indonesia menjadi perhatian bersama antara pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia dan pemerintah (Departemen Kesehatan dan Departemen Kesejahteraan Sosial). Surat edaran dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Pelayanan Medik (Dirjen Yanmedik) Departemen Kesehatan RI, yang menetapkan bahwa angka persalinan sectio caesarea untuk rumah sakit pendidikan atau rujukan sebaiknya tidak melebihi 20-25% dari total jumlah persalinan.26

 

 

2.2.5        Hubungan Ketuban Pecah Dini Terhadap Tindakan Persalinan Prematur

Ketuban Pecah Dini (KPD) dapat mempengaruhi terjadinya persalinan prematur karena selaput ketuban berfungsi sebagai penghalang untuk bayi dalam kandungan. Jika ketuban pecah sebelum usia kehamilan 37 minggu, biasanya diperlukan pematangan paru sebelum bayi dilahirkan. Selain itu, persalinan prematur dapat dipicu oleh kontraksi uterus yang dihasilkan dari pecahnya selaput ketuban pada usia kehamilan yang prematur.27

Ketuban pecah dini merupakan salah satu penyebab persalinan prematur, dengan insidensi sekitar 30-40%. Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat angka kematian ibu dan neonatus sekitar 305 per 100.000 kelahiran. Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa 5-10% dari seluruh kehamilan mengalami ketuban pecah dini. Pada persalinan prematur, 1/3 diantaranya terkait dengan ketuban pecah dini, dan dari kasus ketuban pecah dini, 60% terjadi pada kehamilan cukup bulan.

Komplikasi dari ketuban pecah dini termasuk persalinan prematur, yang didefinisikan sebagai persalinan di bawah usia kehamilan 37 minggu atau bayi lahir dengan berat kurang dari 2.500 gram. Di dunia, kelahiran prematur menyumbang sekitar 75-80% dari seluruh kelahiran bayi yang meninggal pada usia kurang dari 28 hari.1

Ketuban Pecah Dini (KPD) memberikan kontribusi sebagai faktor penyebab sepertiga dari kejadian kelahiran prematur yang dapat meningkatkan morbiditas (masalah kesehatan) dan menyumbang sekitar 70% dari kematian ibu dan neonatus di seluruh dunia. Kesadaran akan risiko yang terkait dengan KPD menjadi kunci dalam upaya pencegahan dan manajemen untuk mengurangi dampak buruknya terhadap kesehatan ibu dan bayi baru lahir.28

 


 

2.3         Kerangka Teori


 


 


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

 

3.1         Jenis penelitian

Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah cross sectional dengan metode deskriptif kuantitatif yaitu suatu penelitian untuk mempelajari hubungan antara variabel independen (bebas) dengan variabel dependen (terikat) dengan pengukuran sekali dan dalam waktu yang bersamaan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan Ketuban Pecah Dini Terhadap Persalinan Prematur di RSUD Meuraxa dan RSPUR Banda Aceh.

 

3.2              Populasi dan sampel penelitian

3.2.1        Populasi

1.      Populasi Target

Populasi yang digunakan pada penelitian ini yaitu seluruh data rekam medik ibu hamil dan telah melahirkan di Obstetri dan Ginekologi di RSUD Meuraxa dan RSPUR

2.      Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau di penelitian ini adalah data rekam medik ibu yang melahirkan dengan KPD dan non KPD di RSUD Meuraxa dan RSPUR.

3.2.2        Sampel

Sampel merupakan sebagian kecil dari populasi yang biasa digunakan untuk penelitian yang memenuhi kriteria inklusi di bagian Obstetri dan Ginekologi. Untuk penelitian ini, sampel digunakan adalah pasien melahirkan dengan KPD di RSUD Meuraxa dan RSPUR Kota Banda Aceh. Sampel diambil dengan menggunakan cara menghitung besarnya populasi yang terpilih sebagai sample. Untuk menghitung sample menggunakan rumus sebagai berikut:

a.         Kriteria Inklusi

Ibu hamil dengan KPD dan hamil dengan Non KPD yang melahirkan di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Meuraxa dan RSPUR

b.         Kriteria Ekslusi

1.    Ibu dengan riwayat penyakit seperti diabetes, hipertensi pada eklamsia, penyakit jantung, paru, ginjal, neuroogi

2.    Ibu hamil dengan memiliki riwayat plasenta (plasenta previa, solusio plasenta)

3.     Bayi yang dilahirkan dengan kelainan kongenital seperti hernia diafragmatika atresia atau stenosis saluran pernafasan, hipoplasia paru.

 

3.3              Variabel Penelitian

3.3.1        Variabel Bebas (Independen)

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Ketuban Pecah Dini.

3.3.2        Variable Terikat (Dependen)

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah Persalinan Prematur.

 

3.4         Definisi Operasional Penelitian

Variabel

Definisi operasional

Alat Ukur

Cara Ukur

Hasil Ukur

Skala Ukur

 

Usia ibu

Usia ibu saat hamiClick or tap here to enter text.

Rekam Medik

Self assessment

1. Beresiko (Usia ibu <20 dan >35 tahun)

2. Tidak beresiko (Usia ibu 20-35 tahun)

Nominal

Ketuban Pecah Dini

Robeknya selaput ketuban pada setiap saat sebelum persalinan dimulai

Rekam Medik

Self assesssment

1. KPD: Kehamilan prematur/(PPROM) sebelum usia kehamilan 37 minggu atau KPD cukup bulan/(PROM) usia kehamilan 37-42 minggu

2. Non KPD: Ketuban pecah pada waktunya (saat terjadinya persalinan)                

Nominal

Persalinan Prematur

Persalinan yang terjadi sebelum 37 minggu usia kehamilan

Rekam Medik

Self assessment

1.Aterm (usia kehamilan ≥37 minggu)

2.Prematur (Usia kehamilan <37 minggu)

Nominal

Jumlah Paritas

Jumlah anak yang sudah dilahirkan ibu

Rekam Medik

Self assessment

1.Primipara: Kelahiran pertama kali

2.Multipara: Jumlah kelahiran lebih dari satu kali

3.Grandemultipara: Jumlah kelahiran ≥ 5 kali

Nominal

 

3.5         Teknik Pengambilan Sample

Penelitian ini menggunakan data sekunder dari rekapitulasi catatan medik. Data tersebut berasal dari catatan medik seluruh ibu hamil yang dirawat di bagian obstetri dan ginekologi (Obgyn) RSUD Meuraxa dan RSPUR Banda Aceh. Setelah data diperoleh, dibagi menjadi dua kelompok, yaitu ibu dengan ketuban pecah dini (KPD) dan ibu tanpa (KPD). Data dari kedua kelompok tersebut kemudian diproses untuk menghasilkan distribusi frekuensi dan insiden KPD dan tanpa KPD di bagian Obgyn RSUD Meuraxa dan RSPUR

 

3.6              Tempat dan Waktu Penelitian

3.6.1        Tempat Penelitian

Tempat penelitian dilakukan di RSUD Meuraxa dan RSPUR Kota Banda Aceh

3.6.2        Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan pada bulan Februari Mei 2024.

3.7              Rancangan Pengolahan Data Dan Analisis Data

Strategi analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah uji Chi-Square untuk mengevaluasi hubungan antara variabel dependen (persalinan prematur) dan variabel independen (ketuban pecah dini). Uji statistik Chi-Square akan dilakukan dengan batas kemaknaan α = 0,05. Hasil uji akan diinterpretasikan sebagai berikut: jika nilai p value  ≤ 0,05, maka terdapat hubungan yang signifikan antara ketuban pecah dini dan persalinan prematur; sebaliknya, jika nilai p  value > 0,05, maka tidak terdapat hubungan yang signifikan.Analisis data dilakukan dengan dua tahap yaitu analisis univariat dan analisis bivariat

1.      Analisis Univariat

Analis Univariat dilakukan untuk mendeskripsikan variasi eluruh variabel yang digunakan dengan cara membuat tabel distribusi frekuensi

2.      Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independent dengan variabel dependent sehingga ada atau tidaknya hubungan antara ketuban pecah dini dan prematur dan uji statistik yang dilakukan pada analisis ini adalah uji Chi square. Analisis bifariat yang dilakukan pada penelitian ini adalah analisis Hubungan ketuban pecah dini dengan prematur

3.8         Alur Penenelitian



 


DAFTAR PUSTAKA

1.        Primadella Fegita BK. Nusantara Hasana Journal. Nusant Hasana J. 2023;2(9):185-190.

2.        Mellisa S. Faktor Risiko Ketuban Pecah Dini. J Med Harapan. 2021;03(01):1645-1648. https://jurnalmedikahutama.com/index.php/JMH/article/view/332/231

3.        Rima Novirianthy, Safarianti, Maimun Syukri, Cut Meurah Yeni MIA. Profil Ketuban Pecah Dini pada Ibu Bersalin di RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. J Kedokt Syiah Kuala. 2021;21(3):250-249. doi:10.24815/jks.v21i3.21299

4.        Kharismawati AHP. HUBUNGAN USIA KEHAMILAN DAN KADAR KADAR HEMOGLOBIN PADA PENDERITA KETUBAN PECAH DINI DI RSU SYLVANI BINJAI TAHUN 2019. J Kedokt dan Kesehat Fak Kedokt Univ Islam Sumatera Utara. 2021;20(1):1-8.

5.        Syarwani TI, Tendean HMM, Wantania JJE. Gambaran Kejadian Ketuban Pecah Dini (KPD) di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado Tahun 2018. Med Scope J. 2020;1(2):24-29. doi:10.35790/msj.1.2.2020.27462

6.        Mohd. Andalas, Cut Rika Maharani ERH, Muhammad Reva Florean Z. Ketuban pecah dini dan tatalaksananya. Kedokt Syiah Kuala. 2019;19(3):188-192.

7.        Oroh S, Suparman E, Tendean HMM. Karakteristik Persalinan Prematur Di Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. e-CliniC. 2015;3(2). doi:10.35790/ecl.3.2.2015.8605

8.        Lenny Sijabat, Idona Gokmarina, Firma Simatupang, Siska Suci Triana Ginting, Vidya Silvyani Audry. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Persalinan Prematur Di Rsia Stella Maris Medan Tahun 2022. Termom J Ilm Ilmu Kesehat dan Kedokt. 2022;1(1):22-31. doi:10.55606/termometer.v1i1.949

9.        Negara KS, Mulyana RS, Pangkahila ES. Buku Ajar Ketuban Pecah Dini.

10.      Pradana T, Surya G. Karakteristik Ibu Bersalin Dengan Ketuban Pecah Dini (Aterm & Preterm) Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Periode Juli 2015-Juni 2016. J Med Udayana. 2016;9(7):92-97.

11.      Rif’ati NL, Kristanto H, Wijayati PS, Arkhaesi N. Hubungan korioamnionitis dengan Asfiksia Neonatus pada kehamilan dengan ketuban pecah dini. Medica Hosp  J Clin Med. 2018;5(2):1143-1153. doi:10.36408/mhjcm.v5i2.361

12.      Lindo M, Wildan DR. Ketuban Pecah Dini dan Oligohidramnion pada Kehamilan Preterm. JIKA (Jurnal Ilmu Kesehat Abdurrab). 2023;1(2):81-87. https://jurnal.univrab.ac.id/index.php/jika/article/view/3685/1532

13.      Vivin Yuni Astutik ND. STUDI TENTANG KONDISI KETUBAN DAN UMUR KEHAMILAN DENGAN RESIKO TERJADINYA ASFIKSIA NEONATORUM. Published online 2021:18-24.

14.      Hwxedq HLU, Kosim MS. Pemeriksaan Kekeruhan Air Ketuban. 2010;11(5):379-384.

15.      Kurniawan FS, Susanto R. Karakteristik pasien ketuban pecah dini (KPD) dengan persalinan preterm di RSUD Benyamin Guluh Kolaka. Tarumanagara Med J. 2023;5(1):47-51. doi:10.24912/tmj.v5i1.24381

16.      yayan yustika saifullah, masita fujiko, sigit dwi pramono, indah lestari M hamsa. Hubungan Diabetes Mellitus Gestasional Dengan Kelahiran Prematur. J Mhs Kedokt. 2022;2(5):359-367.

17.      Herman SJTH. Buku Acuan Persalinan Kurang Bulan (Prematur) 1. Buku Acuan Persalinan Kurang Bulan. Published online 2020:1-219.

18.      SALSABILA IRBAH AZHARI SM. Hang tuah medical journal. Hang Tuah Med J. 2018;17(1):35-46.

19.      Setiabudi MT, Anggraheny HD, Arintya YC. Analisis Faktor Risiko Kejadian Persalinan Prematur di RSUD Tugurejo Semarang. Univ Muhammadiyah Semarang. Published online 2012:1-8.

20.      Maita L. Faktor Ibu yang Mempengaruhi Persalinan Prematur di RSUD Arifin Achmad Pekanbar. J Kesehat Komunitas. 2012;2(1):31-34. doi:10.25311/keskom.vol2.iss1.39

21.      Sekulić S, Jakovljević B, Korovljev D, et al. Chronic Polyhydramnios: A Medical Entity Which Could Be a Model of Muscle Development in Decreased Mechanical Loading Condition. Front Physiol. 2022;12(January):1-6. doi:10.3389/fphys.2021.810391

22.      Akademi Kebidanan Wira Husada Nusantara Malang Q. Kajian Metode Persalinan Normal Dengan Bantuan Cermin Pada Persalinan Kala II Ibu Primigravida. Care J Ilm Ilmu Kesehat. 2019;7(2):61-68.

23.      Fadli A, Fujiko M, Gayatri SW, Hamsah M, Syamsu RF. Karakteristik Ibu Hamil yang Melakukan Tindakan Section Caesarean di Rumah Sakit Sitti Khadijah Makassar Periode 2019 – 2021. Fakumi Med J J Mhs Kedokt. 2019;3(4):261-268. https://fmj.fk.umi.ac.id/index.php/fmj

24.      Ekwendi AS, Mewengkang ME, Wagey FMM. Perbandingan Persalinan Seksio Sesarea Dan Pervaginam Pada Wanita Hamil Dengan Obesitas. e-CliniC. 2016;4(1). doi:10.35790/ecl.4.1.2016.10951

25.      Rosni Fitri Yanti, Nizam Ismail AF. ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN PERSALINAN SECTIO CAESAREA. J Kesehat. 2021;9(3):140-149.

26.      Fajrini F. Analisis Hubungan antara Pengetahuan, Psikologi dan Pengalaman bersalin Ibu denganPemilihan Proses Persalinan Normal atau Caesarea Pada Pasien Melahirkan di RSIA Hermina Ciputat. J Kedokt dan Kesehat. 2016;12(2):121-128.

27.      Panada Sedianing Drastita, Hardianto G, Fitriana F, Utomo MT. Faktor Risiko Terjadinya Persalinan Prematur. Oksitosin  J Ilm Kebidanan. 2022;9(1):40-50. doi:10.35316/oksitosin.v9i1.1531

28.      Sabaruddin H, Muthaher C, AR MR. Karakteristik Kehamilan Dengan Ketuban Pecah Dini Preterm Di Rsud Ulin Banjarmasin. J Publ Kesehat Masy Indones. 2019;6(1):36-39. doi:10.20527/jpkmi.v6i1.6883

logoblog

Thanks for reading HUBUNGAN KETUBAN PECAH DINI TERHADAP TINDAKAN PERSALINAN PREMATUR DI RSUD MEURAXA DAN RSPUR KOTA BANDA ACEH

Previous
« Prev Post

No comments:

Post a Comment