Saturday, 10 February 2024

ALQURAN DAN HADIST SEBAGAI DALIL DAN SUMBER HUKUM ISLAM

  admin 2       Saturday, 10 February 2024

 

ALQURAN DAN HADIST SEBAGAI DALIL DAN SUMBER HUKUM ISLAM






BAB I

PENDAHULUAN

 

Setiap ajaran agama tentunya terdapat hukum-hukum yang mengikat para pemeluknya. Dalam agama Islam, terdapat beberapa sumber hukum yang mengatur perilaku pemeluknya (muslim) dalam kegiatannya sebagai seorang hamba dan khalifah di Bumi. Sumber hukum Islam merupakan dasar utama untuk mengambil istinbat hukum. Oleh karenanya segala sesuatu yang menjadi pokok permasalahan haruslah berdasarkan pada sumber hukum tersebut. Sumber hukum pertama adalah al- quran yaitu wahyu atau kalamullah yang sudah dijamin keontentikannya dan juga terhindar dari intervensi tangan manusia. Sehingga dengan penyucian tersebut mengkokohkan posisi al-quran menempati posisi yang utama.

Oleh karena itu, sebagai sumber utama hendaklah ia memiliki sifat dinamis, benar, dan mutlak. Sudah selayaknya jika al-quran bersifat dinamis, benar, dan mutlak. Dinamis dalam arti al-quran diterapkan manapun, dan kapanpun, serta kepada siapapun. Kebenaran al-quran dibuktikan dengan realita atau fakta yang terjadi sebenarnya. Terakhir, al-quran tidak diragukan kebenarannya serta tidak akan terbantahkan. Dalam eksistensinya, sumber hukum dalam Islam tidak hanya al-quran saja, melainkan juga hadis, ijma, qiyas. Ketiganya hanyalah sebagai sumber skunder atau utama dalam hukum-hukum Islam, sumber-sumber ini bukan berfungsi sebagai penyempurna al-quran melainkan sebagai penyempurna pemahaman manusia akan maqasid asy-syariah (tujuan syariah). Karena al-quran telah sempurna sedangkan pemahaman manusia tidak sempurna, sehingga dibutuhkan penjelas (bayan) sebagai tindakan penjabaran tentang sesuatu yang belum dipahai secara seksama.

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

1.     AL-QUR’AN

A.     Pengertian Al-Qur’an

Al-qur’an secara bahasa adalah berasal dari kata qara’a – yaqra’u – qira’atan – qur’anan, yakni sesuatu yang dibaca atau bacaan. Sedangkan secara istilah merupakan kalamullah yang diturunan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan sampai kepada kita secara mutawatir serta membacanya berfungsi sebagai ibadah. Selain sebagai firman Allah kepada Nabi saw. Al-quran juga merupakan mukjizat daripada Nabi saw. Mukjizat sendiri berarti sesuatu yang melemahkan atau perkara yang keluar dari kebiasaan. Dikatakan sebagai mujkizat karena pada saat itu masyarakat Arab Jahiliyah pandai dalam membuat sastra Arab (syair), sastra Arab pada saat itu bearada dalam puncak kejayaan sehingga membuat manusia berbondong-bondong, berlomba-lomba dalam membuat syair.

Turunnya al-quran tidak langsung dalam bentuk mushaf yang terdapat pada saat ini, melainkan diturunkan secara berangsur-angsur. Tujuan dari turunnya yang bertahap ini dimaksud agar memperbaiki umat manusia, diantaranya sebagai penjelas, kabar gembira, seruan, sanggahan terhadap kaum musyrikin. Adapun tahapan-tahapan turunnya alquran yaitu pertama diturunkan di Lauh al-Mahfudz, kemudian diturunkan ke langit pertama di Bait al-Izzah, dan terakhir diturunkan kepada Nabi Muhammad secara berangsur-angsur dan sesuai kebutuhan serta peristiwa yang sedang terjadi atau dihadapi oleh Nabi saw.

B.     Nama dan Sifat Al-Quran

Ada beberapa nama yang disandarkan terhadap al-quran. Dalam kitab al-Burhan fi Ulum al-quran karya al-Zarkasyi sebagaimana dikutiip oleh Amroeni Drajat, beliau menyebutkan ada 54 nama selain penamaan al-quran diantaranya: al-Kitab, an-Nur, al-Kalam, Huda, Rahmah, Furqan, Dzikra, at-Tanzil, Wahyu, Mutasyabiha, al-Adl, Zabur, Mubin, Balagha, Shuhuf.

Demikianlah nama-nama lain dari al-quran yang populer dikalangan para Ulama. Dari sekian nama yang dinisbahkan terhadap al-quran kesemuanya itu berasal dari Firman Allah swt yang terdapat di dalam al-quran. Selain nama -nama di atas, juga ada sifat-sifat dari al-quran yaitu: an-nur, asy-syifa, huda, basyir, dan nazir.

C.     Kandungan Hukum dalam Al-Quran

Merujuk pada pembahasan para ulama’, sebagian dari mereka ada yang membagi hukum yang terkandung dalam Al-Quran menjadi tiga sebagaimana pernyataan Wahbah Zuhaili di dalam kitab Ushul al-Fiqh al-Islamiyi yang juga dikutip oleh Ernawati, diantaranya:

a) Hukum Akidah (I’tiqadiyah) ialah sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan manusia kepada Allah swt. dan juga kepada para Malaikat, Kitab, Rasul, serta hari akhir.

b) Hukum Etika (Khuluqiyyah) adalah suatu perilaku yang berkaitan dengan kepribadian diri. Diantaranya kejujuran, rendah hati, sikap dermawan dan menghindari sifat-sifat buruk pada dirinya seperti halnya dusta, iri, dengki, sombog.

 c) Hukum Amaliyah (Amaliyah) suatu perilaku sehari-hari yang berhubungan dengan sesama manusia. Hukum Amaliyah dibagi menjadi dua bagian, yakni: Pertama mu’amalah ma’a allah yaitu pekerjaan yang berhubungan dengan Allah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, dan lain sebagainya; Kedua, mu’amalah ma’anaas atau pekerjaan yang berhubungan langsung dengan manusia baik secara pribadi maupun kelompok. Contohnya, kontrak kerja, hukum pidana, dan lain sebagainya.

D. Cara al-qur’an menjelaskan Ayat-Ayat Hukum

Secara garis besar penjelasan hukum oleh   al-qur’an terdiri dari tiga cara:

a). Ijmali (global)

Penjelasan al-qur’an bersifat umum, sedangkan sunnah Nabi yang nantinya akan menjelaskan lebih mendetail. Sebagaimana perintah mendirikan shalat, membayar zakat, dan penjelasan lafadz yang tidak jelas secara makna. Allah swt. berfirman “ dirikanlah salat” (Q.S. al-Baqarah: 43). Ayat tersebut berupa perintah untuk mendirikan sholat, tidak ada penjelasan mengenai tata cara dan waktu pelaksanaannya. Maka disinilah Sunnah Nabi berperan adanya, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”.

b). Tafshili (terperinci)

Al-qur’an memaparkan hukum secara terperinci, dan disertai penjelasa yang mendetail, adapun sunah nabi menjadi penguat bagi penjelasan al-qu’an tersebut. Contohnya, hukum waris, tata cara dan hitungan dalam thalaq, mahram (orang yang haram untuk di nikahi), dan sebagainya.

c). Isyarah (isyarat)

Penjelasan Al-qur’an hanya sebatas pokok hukum, baik secara isyarat maupun secara ungkapan langsung. Adapun sunnah Nabi memberikan penjelasan hukum yang terkandung dalam pokok bahasan tersebut secara terperinci. Sebagai contoh firman Allah swt. Dalam surat An-nisa (4):25

فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ

“kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.”

Ayat tersebut memberi isyarat bahwa ganjaran atau ‘iqab bagi budak apabila ia melakukan perbuatan fahisyah adalah separuh dari ganjaran atau iqab Perempuan yang Merdeka.

2. AL-HADIS

A. Pengertian Hadis

            Secara etimologi Hadis berasal dari kata  (حدث – يحدث)artinya al-jadid "sesuatu yang baru” atau khabar “kabar”. Maksudnya jadid adalah lawan dari al-qadim (lama), seakan-akan dimaksudkan untuk membedakan al-qur’an yang bersifat Qadim. Sedangkan khabar maksudnya berita, atau ungkapan, pemberitahuan yang diungkapkan oleh perawi hadis dan sanadnya bersambung.

            Menurut istilah hadis adalah segala sesuatu yang dirujuk/disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya. Ulama ushul fiqh menambahkan pengertian tersebut dengan hal “yang berkaitan dengan hukum”. Artinya, yang dimaksud dengan hadis dalam pandangan mereka (ulama ushuliyah) adalah segala sesuatu yang dirujuk kepada Nabi yang berkaitan dengan hukum. Selain pengertian hadis di atas, istilah hadis juga sering disamakan dengan istilah Sunnah, khabar, dan atsar.

a)      Sunnah adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW. Berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat fisik, atau akhlaq, serta perilaku kehidupan baik sebelum diangkat menjadi Rasul (seperti mengasingkan diri yang beliau lakukan di Gua Hira’) atau setelah kerasulan beliau. Adapun menurut “Ulama’ Fiqh”, Sunah merupakan segala sesuatu yang datang dari Nabi yang bukan fardlu dan tidak wajib.

b)      Khabar adalah berita yang datang selain dari Nabi. Maka dapat disimpulkan bahwa khabar lebih umum dari pada hadis.

c)      Atsar secara etimologi berarti “sisa atau suatu peninggalan”(baqiyat al-syai). Sebagaimana dikata di atas bahwa atsar adalah sinonim dari hadis, artinya ia mempunyai arti dan makna yang sama. Selain itu atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in, yang terdiri dari perkataan atau perbuatan.

B. Sunnah dalam Hal Menjelaskan Hukum

      Dilihat dari segi diterima atau ditolaknya, Imam Malik membagi Sunnah kepada empat bagian:

1)      Sunnah yang tidak boleh ditolak. Orang yang menolaknya dihukum kafir dan disuruh bertobat. Yaitu hadis yang dinukilkan Nabi dengan jalan mutawatir, seperti hukum khamar, perintah azan, menghadap ka’bah, dan sebagaimana.

2)      Sunnah yang telah diakui kesahihannya dan penakwilannya oleh ulama hadis, seperti hadis syafaat, hadis rukya, hadis azab kubur, dan sebagainya, yang diriwayatkan bukan dengan jalan mutawatir.

3)      Sunah yang diharuskan kita meyakininya dan mengamalkannya walaupun tidak diterima oleh Sebagian ahli sunnah, seperti hadis menyapu dua Sepatu.

4)      Sunnah yang diharuskan kita mengamalkannya, akan tetapi tidak mengharuskan kita menyakininya.

Hadits juga berfungsi sebagai memperkokoh isi kandungan yang terdapat dalam Al-Qur’an. Misalnya firman Allah SWT tentang awal Ramadhan dalam QS. Al-Baqarah ayat 185 sebagai berikut:

شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًۭى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَـٰتٍۢ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍۢ فَعِدَّةٌۭ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا۟ ٱلْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai peetunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena, itu, barang siapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) dibulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuknya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (Al-Baqarah: 185)

            Ayat di atas ditegaskan oleh hadis Nabi SAW. Sebagai berikut:

أَنَّ اِبْنَ عُمَرَرَضِيَ الله عُنْهُماَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُوْمُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإن غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوالَهُ

Bahwa Ibnu’ Umar berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Jika kamu melihatnya maka berpuasalah dan jika kamu melihatnya lagi maka berbukalah. Apabila kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah jumlahnya (jumlah hari disempurnakan). (HR. Bukhari).

logoblog

Thanks for reading ALQURAN DAN HADIST SEBAGAI DALIL DAN SUMBER HUKUM ISLAM

Newest
You are reading the newest post

No comments:

Post a Comment