BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Saat ini tidak mudah untuk memaparkan
kondisi hukum di Indonesia tanpa adanya keprihatinan yang mendalam mendengar
ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, dan kemarahan masyarakat pada
mereka yang memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan mereka tanpa menggunakan
hati nurani. Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat tajam
dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Dari sekian banyak bidang hukum, dapat dikatakan bahwa hukum pidana menempati
peringkat pertama yang bukan saja mendapat sorotan tetapi juga celaan yang luar
biasa dibandingkan dengan bidang hukum lainnya. Bidang hukum pidana merupakan
bidang hukum yang paling mudah untuk dijadikan indikator apakah reformasi hukum
yang dijalankan di Indonesia sudah berjalan dengan baik atau belum. Hukum
pidana bukan hanya berbicara tentang putusan pengadilan atas penanganan perkara
pidana, tetapi juga meliputi semua proses dan sistem peradilan pidana. Proses
peradilan berawal dari penyelidikan yang dilakukan pihak kepolisian dan
berpuncak pada penjatuhan pidana dan selanjutnya diakhiri dengan pelaksanaan
hukuman itu sendiri oleh lembaga pemasyarakatan. Semua proses pidana itulah
yang saat ini banyak mendapat sorotan dari masyarakat karena kinerjanya, atau
perilaku aparatnya yang jauh dari kebaikan.
Hukum Negara ialah aturan bagi negara
itu sendiri, bagaimana suatu negara menciptakan keadaan yang relevan, keadaan
yang menentramkan kehidupan sosial masyarakatnya, menghindarkan dari segala
bentuk tindak pidana maupun perdata. Namun tidak di Indonesia dalam beberapa
tahun terakhir ini, pemberitaan di media masa sungguh tragis. Bahkan dari Hasil
survei terbaru dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebutkan bahwa 56,0
persen publik menyatakan tidak puas dengan penegakan hukum di Indonesia, hanya
29,8 persen menyatakan puas, sedangkan sisanya 14,2 persen tidak menjawab.
Sebuah fenomena yang menggambarkan betapa rendahnya wibawa hukum di mata
publik.
Dengan landasan pemikiran ini, penulis
akan mencoba memaparkan mengenai kebijakan, problematika, dampak dan pemecahan
penegakan hukum di Indonesia. Selain itu penulis juga akan memaparkan
ketidakpuasan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan
masalah dalam perkara ini adalah sebagai berikut.
1. Definisi kebijakan penegak hukum.
2. Problematika penegakan hukum di
Indonesia.
3. Dampak yang timbul dari penegakan hukum
di Indonesia.
4. Ketidakpuasan masyarakat terhadap penerapannya.
5. Solusi dan cara menghadapai permasalahan
dalam penegakan hukum di Indonesia.
C. TUJUAN
Tujuan dalam pembahasan ini adalah interpretasi terhadap
rumusan permasalahan ini, yaitu.
1. Untuk
mengetahui definisi kebijakan penegak hukum.
2. Untuk
mengetahui problematika penegakan hukum di Indonesia.
3. Untuk
mengetahui dampak yang timbul dari penegakan hukum di Indonesia.
4. Untuk
mengetahui ketidakpuasan masyarakat terhadap penerapannya.
5. Untuk mengetahui solusi dan cara
menghadapai permasalahan dalam penegakan hukum di Indonesia.
D. MANFAAT
Adapun manfaat yang diharapkan dalam pembahasan ini adalah
sebagai berikut.
1. Dapat
mengetahui dasar-dasar dalam pembentukan hukum Negara Indonesia.
2. Dapat mengetahui
problematika penegakan hukum yang berlaku di Indonesia.
3. Dapat
mengetahui dampak dalam penegakan hukum di Indonesia.
4. Dapat
mengetahui kenapa masyarakat tidak puas dengan penegakan hukum di Indonesia.
5. Dapat mengetahui dan menilai bagaimana
solusi dalam pemecahan permasalahan hukum di Indonesia.
6. Khusus bagi pemerintahan, memberikan
gambaran mengenai sistem penegakan hukum yang berlaku dalam masyarakat, serta
diharapkan dapat menilai, menelaah dan membuat suatu keputusan dalam pemecahan
masalah penegakan hukum tersebut.
BAB II
PEMBAHASAAN
A. Kebijakan Penegak Hukum
Kebijakan adalah kepandaian,
kemahiran, kebijaksanaan; rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar
dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara
bertindak pemerintah; pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud
sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran dari
haluan-haluan pemerintah mengenai moneter perlu dibahas oleh DPR (Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi III, 2005: 149).
Sedangkan penegakan adalah proses,
cara, perbuatan, menegakkan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, 2005:
1155). Selain itu hukum memiliki beberapa pengertian atau definisi dari hukum,
antara lain:
Hukum adalah:
1. Peraturan atau adat yang secara resmi
dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah;
2. Undang-undang,
peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat;
3. Patokan
(kaidah,ketentuan) mengenai peristiwa (alam, dsb) yang tertentu;
4. Keputusan (pertimbangan) yang diterapkan
oleh hakim (di pengadilan); vonis. (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III,
2005: 410)
Hukum adalah keseluruhan
peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama: keseluruhan
peraturan tentang tingkah laku yang erlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang
dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi (Sudikno, 1999: 40).
Jadi, kebijakan penegakan hukum
adalah usaha-usaha yang diambil oleh pemerintah atau suatu otoritas untuk
menjamin tercapainya rasa keadilan dan ketertiban dalam masyarakat dengan
menggunakan beberapa perangkat atau alat kekuasaan negara baik dalam bentuk
undang-undang, sampai pada para penegak hukum antara lain polisi, hakim, jaksa,
serta pengacara.
Bangsa yang beradab adalah bangsa
yang menjalankan fungsi hukumnya secara merdeka dan bermartabat. Merdeka dan
bermartabat berarti dalam penegakan hukum wajib berpihak pada keadilan, yaitu
keadilan untuk semua. Sebab apabila penegakan hukum dapat mengaplikasikan nilai
keadilan, tentulah penerapan fungsi hukum tersebut dilakukan dengan cara-cara
berpikir yang filosofis.
Hukum berfungsi sebagai perlindungan
kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus
dilaksanakan. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus
diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemafaatan
(Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit) (Sudikno, 1999: 145).
Dalam pasal 27 UUD 1945 dengan jelas tercantum:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya.”
Rumusan tersebut mengandung makna bahwa semua warga negara
Republik Indonesia memiliki persamaan hukum dan hak-hak yang sama di hadapan
pemerintah. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak
boleh ada yang dinamakan diskriminasi terhadap warga negara. Bahkan tafsiran
tersebut juga menyangkut prinsip persamaan itu berlaku bagi siapa saja, apakah
ia seorang warga negara atau bukan, selama mereka adalah penduduk Negara
Republik Indonesia (Jimly, 2011: 110).
B. Problematika Penegakan Hukum di
Indonesia
Masalah utama penegakan hukum di
negara-negara berkembang khususnya Indonesia bukanlah pada sistem hukum itu sendiri,
melainkan pada kualitas manusia yang menjalankan hukum (penegak hukum). Dengan
demikian peranan manusia yang menjalankan hukum itu (penegak hukum) menempati
posisi strategis. Masalah transparansi penegak hukum berkaitan erat dengan
akuntabilitas kinerja lembaga penegak hukum. Undang-undang No. 28 tahun 1999
tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme, telah menetapkan beberapa asas. Asas-asas tersebut mempunyai tujuan,
yaitu sebagai pedoman bagi para penyelenggara negara untuk dapat mewujudkan
penyelenggara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh
dan penuh tanggung jawab (Siswanto, 2005: 50).
Penegak hukum merupakan golongan
panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan
tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi
dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran (masyarakat), di samping mampu
membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Selain
itu, maka golongan panutan harus dapat memanfaatkan unsur-unsur pola
tradisional tertentu, sehingga menggairahkan partispasi dari golongan sasaran
atau masyarakat luas. Golongan panutan juga harus dapat memilih waktu dan
lingkungan yang tepat di dalam memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah
hukum yang baru serta memberikan keteladanan yang baik (Soerjono, 2002: 34).
Penegak hukum yang bertugas
menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, meliputi: petugas
strata atas, menengah dan bawah. Maksudnya adalah sampai sejauhmana petugas
harus memiliki suatu pedoman salah satunya peraturan tertulis yang mencakup
ruang lingkup tugasnya. Dalam penegakkan hukum, menurut Soerjono Soekanto
sebagaimana dikutip oleh Zainuddin Ali, kemungkinan penegak hukum mengahadapi
hal-hal sebagai berikut:
a) Sampai
sejauhmana petugas terikat dengan peraturan yang ada,
b) Sampai
batas-batas mana petugas berkenan memberikan kebijakan,
c) Teladan macam
apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat,
d) Sampai sejauhmanakah derajat sinkronisasi
penugasan yang diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas
yang tegas pada wewenangnya (Zainuddin, 2006: 95).
Lemahnya mentalitas aparat penegak
hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum
diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak
transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak
hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum. Kalau peraturan sudah
baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian
juga, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik,
kemungkinan munculnya masalah masih terbuka.
Kondisi riil yang terjadi saat ini di
Indonesia mengindikasikan adanya kegagalan aparat-aparat penegak hukum dalam
menegakan hukum. Kegagalan penegakan hukum secara keseluruhan dapat dilihat
dari kondisi ketidakmampuan (unability) dan ketidakmauan (unwillingness) dari
aparat penegak hukum itu sendiri. Ketidakmampuan penegakan hukum diakibatkan
profesionalisme aparat yang kurang, sedangkan ketidakmauan penegakan hukum
berkait masalah KKN (korupsi kolusi dan nepotisme) yang dilakukan oleh aparat
hukum sudah menjadi rahasia umum. Terlepas dari dua hal di atas lemahnya
penegakan hukum di Indonesia juga dapat kita lihat dari ketidakpuasan
masyarakat karena hukum yang nota benenya sebagai wadah untuk mencari keadilan
bagi masyarakat, tetapi malah memberikan rasa ketidakadilan.
Penegakan hukum yang carut-marut,
kacau, dan mengesampingkan keadilan tersebut bisa saja diminimalisir kalau
seandainya hukum dikembalikan kepada fungsi aslinya, yaitu untuk untuk
menciptakan keadilan, ketertiban serta kenyamanan. Selain itu sebagaimana
menurut Soerjono Soekanto, hukum dapat berfungsi dengan baik diperlukan
keserasian dan hubungan antara empat faktor, yakni:
1. Hukum dan
peraturan itu sendiri.
Kemungkinannya adalah bahwa terjadi
ketidak cocokan dalam peraturan perundang-undangan mengenai bidang-bidang
kehidupan tertentu. Kemungkinan lainnya adalah ketidakcocokan antara peraturan
perundang-undangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Kadangkala
ketidakserasian antara hukum tertulis dengan hukum kebiasaan, dan seterusnya.
2. Mentalitas
Petugas yang menegakkan hukum.
Penegak hukum antara lain mencakup
hakim, polisi, jaksa, pembela, petugas pemasyarakatan, dan seterusnya. Apabila
peraturan perundang-undangan sudah baik, akan tetapi jika mental penegak hukum
kurang baik, maka akan terjadi pada sistem penegakkan hukum.
3. Fasilitas yang
diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum.
Kalau peraturan perundang-undangan
sudah baik dan juga mentalitas penegaknya baik, akan tetapi fasilitas kurang
memadai, maka penegakkan hukum tidak akan berjalan dengan semestinya.
4. Kesadaran dan
kepatuhan hukum dari para warga masyarakat.
Namun dipihak lain perlu juga
disadari bahwa penegakan hukum bukan tujuan akhir dari proses hukum karena
keadilan belum tentu tercapai dengan penegakan hukum, padahal tujuan akhirnya
adalah keadilan. Pernyataan di atas merupakan isyarat bahwa keadilan yang hidup
di masyarakat tidak mungkin seragam. Hal ini disebabkan keadilan merupakan
proses yang bergerak di antara dua kutub citra keadilan. Naminem Laedere semata
bukanlah keadilan, demikian pula Suum Cuique Tribuere yang berdiri sendiri
tidak dapat dikatakan keadilan. Keadilan bergerak di antara dua kutub tersebut.
Pada suatu ketika keadilan lebih dekat pada satu kutub, dan pada saat yang
lain, keadilan lebih condong pada kutub lainnya. Keadilan yang mendekati kutub
Naminem Laedere adalah pada saat manusia berhadapan dengan bidang-bidang
kehidupan yang bersifat netral. Akan tetapi jika yang dipersoalkan adalah
bidang kehidupan spiritual atau sensitif, maka yang disebut adil berada lebih
dekat dengan kutub Suum Cuique Tribuere. Pengertian tersebut mengisyaratkan
bahwa hanya melalui suatu tata hukum yang adil orang dapat hidup dengan damai
menuju suatu kesejahteraan jasmani maupun rohani (Abdul Ghofur, 2006: 55-56).
C. Dampak dalam Penegakan Hukum di Indonesia
Penyelewengan atau inkonsistensi di
Indonesia berlangsung lama bertahun-tahun hingga sekarang, sehingga bagi
masyarakat Indonesia ini merupakan rahasia umum, hukum yang dibuat berbeda
dengan hukum yang dijalankan, contoh paling dekat dengan lingkungan adalah,
penilangan pengemudi kendaraan yang melanggar tata tertib lalu lintas. Mereka
yang melanggar tata tertib lalu lintas tidak jarang ingin berdamai di tempat atau
menyelewengkan hukum, kemudian seharusnya aparat yang menegakkan hukum tersebut
dapat menangi secara hukum yang berlaku di Indonesia, namun tidak jarang
penegak hukum tersebut justru mengambil kesempatan yang tidak terpuji itu untuk
menambah pundi-pundi uangnya.
Oleh karena itu, akibat-akibat yang
ditimbulkan dari masalah penyelewengan hukum tersebut diantaranya, yaitu:
1.
Ketidakpercayaan masyarakat pada hukum
Masyarakat berependapat hukum banyak
merugikan mereka, terlebih lagi soal materi sehingga mereka berusaha untuk
menghindarinya. Karena mereka percaya bahwa uanglah yang berbicara, dan dapat
meringankan hukuman mereka, fakta-fakta yang ada diputar balikan dengan materi
yang siap diberikan untuk penegak hukum. Kasus-kasus korupsi di Indonesia tidak
terselesaikan secara tuntas karena para petinggi Negara yang terlibat di
dalamnya mempermainkan hukum dengan menyuap sana sini agar kasus ini tidak
terungkap, akibatnya kepercayaan masayarakatpun pudar.
2. Penyelesaian
konflik dengan kekerasan
Penyelesaian konflik dengan kekerasan
contohnya ialah pencuri ayam yang dipukuli warga, pencuri sandal yang dihakimi
warga. Konflik yang terjadi di sekelompok masyarakat di Indonesia banyak yang
diselesaikan dengan kekerasan, seperti kasus tawuran antar pelajar, tawuran
antar suku yang memperebutkan wilayah, atau ada salah satu suku yang tersakiti
sehingga dibalas degan kekerasan. Mereka tidak mengindahkan peraturan-peraturan
kepemerintahan, dengan masalah secara geografis, mereka. Ini membuktikan
masayarakat Indonesia yang tidak tertib hukum, seharusnya masalah seperti
maling sandal atau ayam dapat ditangani oleh pihak yang yang berwajib, bukan
dihakimi secara seenakanya, bahkan dapat menghilangkan nyawa seseorang.
3. Pemanfaatan
Inkonsistensi Penegakan Hukum untuk Kepentingan Pribadi
Dari beberapa kasus di Indonesia,
banyak warga Negara Indonesia yang memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum
untuk kepentingan pribadi. Contohnya ialah pengacara yang menyuap polisi
ataupun hakim untuk meringankan terdakwa, sedangkan polisi dan hakim yang
seharusnya bisa menjadi penengah bagi kedua belah pihak yang sedang terlibat
kasus hukum bisa jadi lebih condong pada banayknya materi yang diberikan oleh
salah satu pihak yang sedang terlibat dalam kasus hukum tersebut.
4. Penggunaan
Tekanan Asing dalam Proses Peradilan
Dalam hal ini kita dapat mengambil
contoh pengrusakan lingkungan yang diakibatkan oleh suatu perusahaan asing yang
membuka usahanya di Indonesia, mereka akan minta bantuan dari negaranya untuk
melakukan upaya pendekatan kepada Indonesia, agar mereka tidak mendapatkan
hukuman yang berat, atau dicabut izin memproduksinya di Indonesia (Supriadi,
2008: 312).
D. Ketidakpuasan Masyarakat Terhadap
Penegakan Hukum di Indonesia
Ketidakpuasan masyarakat terhadap
penegakan hukum di Indonesia ini merupakan fakta dan data yang ditunjukkan dari
hasil survei terhadap masyarakat oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang
menyebutkan bahwa 56,0 persen publik menyatakan tidak puas dengan penegakan
hukum di Indonesia, hanya 29,8 persen menyatakan puas, sedangkan sisanya 14,2
persen tidak menjawab. Mereka yang tak puas terhadap penegakan hukum di
Indonesia merata di semua segmen. Mereka yang tinggal di kota maupun desa,
berpendidikan tinggi maupun rendah, mereka yang berasal dari ekonomi atas
maupun ekonomi bawah.
Namun demikian, mereka yang tinggal
di desa, berasal dari ekonomi bawah, dan berpendidikan rendah lebih tak puas
jika dibandingkan dengan mereka yang berada di kota dan berpendidikan tinggi.
Hal ini disebabkan karena mereka yang berada di desa dan kelompok ekonomi bawah
lebih sering menghadapi kenyataan merasa diperlakukan tidak adil jika
berhadapan dengan aparat hukum. Ketidakpuasaan responden terhadap penegakan
hukum di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun yaitu 37,4 persen
(Survei LSI Januari 2010), sebesar 41,2 persen (Oktober 2010), sebesar 50,3
persen (September 2011), sebesar 50,3 persen (Oktober 2012), dan terakhir 56,6
persen (April 2013) (http://www.lsi.or.id/riset/).
Uraian di atas menunjukkan betapa
rusaknya hukum di Indonesia. Mungkin yang tidak mendapat sorotan adalah lembaga
pemasyarakatan karena tidak banyak orang yang mengamatinya. Tetapi lembaga ini
sebenarnya juga tidak dapat dikatakan sempurna. Lembaga yang seharusnya
berperan dalam memulihkan sifat para warga binaan (terpidana) ternyata tidak
dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Jumlah narapidana yang melebihi dua
kali lipat dari kapasitasnya menjadikan nasib narapidana juga semakin buruk.
Mereka tidak tambah sadar, tetapi justru belajar melakukan tindak pidana baru
setelah berkenalan dengan narapidana lainnya. Tentunya ini jauh dari konsep
pemidanaan yang sesungguhnya bertujuan untuk merehabilitasi terpidana. Bahkan
fakta yang ada hari ini, beberapa narapidana dengan leluasanya membuat “aturan”
sendiri dengan merubah hotel prodeo tersebut menjadi hotel bak bintang lima.
E. Pemecahan Problematika Penegakan Hukum
di Indonesia
Berbagai realita yang terjadi di era
reformasi sampai sekarang terkait dengan penegakan hukum yang terdapat di
Indonesia sudah tidak relevan dengan apa yang tertuang dalam kontitusi negara
ini. Indonesia dengan berbagai macam problem tentang anarkisnya para penegak
hukum, hal ini sudah tidak sesuai dengan apa yang di cita-citakan oleh para
pendiri bangsa terdahulu. Berbagai hal sudah bergeser dari amanah konstitusi
namun kita tidak sepantasnya untuk menyalahkan sepenuhnya kegagalan tersebut
kepada para penegak hukum atau pihak-pihak yang menjalankan hukum karena
bagaimana pun masyarakat adalah pemegang hukum dan tempat hukum tersebut
berpijak.
Semboyan “Bhineka Tunggal Ika”
merupakan entri yang sangat menuju masyarakat kewargaan. Masyarakat kewargaan
pertama-tama akan mempersoalkan siapa-siapa yang termasuk ke dalam kategori
warga atau kewargaan dalam masyarakat. Reformasi hukum hendaknya secara
sungguh-sungguh menjadikan “eksistensi kebhinekaan” menjadi agenda dan
bagaimana mewujudkan ke dalam sekalian fundamental hukum. Kalau kita belajar
dari pengalaman, maka semboyan “Bhineka Tunggal Ika” lebih memberi tekanan pada
aspek ”Tunggal”, sehingga memperkosa eksistensi pluralism. Demi ketunggalan
atau kesatuan, pluralism tidak dibiarkan ada.
Bertolak dari pengakuan terhadap
eksistensi pluralism tersebut, maka konflik adalah fungsional bagi berdirinya
masyarakat. Konflik bukan sesuatu yang harus ditabukan, sebab mengakui
kebhinekaan adalah mengakui konflik, sebagai sesuatu yang potensial. Dengan
demikian, filsafat yang dipegang adalah menyalurkan konflik sedemikian rupa
sehingga menjadi produktif buat masyarakat.
Masalah tentang problematika
penegakan hukum telah menjadi sebuah tema yang sangat menarik untuk diangkat
dalam berbagai seminar. Salah satu diantaranya tidak ada kepuasaan yang dicapai
subjek hukum yang tidak lain adalah manusia serta berbagai badan-badan hukum.
Namun yang perlu diingat bersama
adalah adanya kesadaran dalam pelaksanaaan hukum serta adanya keadilan tanpa
memandang suku, agama, ras, serta budaya seperti yang terkandung di dalam pasal
27 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut: “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Kemudian yang kedua, cara untuk
menyelesaikan berbagai masalah terkait hal tersebut yakni bagaimana tindakan para aparat penegak
hukum mulai dari polisi, hakim, jaksa, serta pengacara dalam menangani setiap
kasus hukum dengan dilandasi nilai-nilai kejujuran, sadar akan namanya
keadilan, serta melakukan proses-proses hukum sesuai dengan aturan yang ada di
dalam undang-undang negara kita. Bukan hanya itu filosofi Pancasila sebagai
asas kerohanian dan sebagai pandangan hidup dalam bertindak atau sebagai pusat
dimana pengamalannya sesuai dengan cita-cita dan tujuan negara kita sebagaimana
telah dijelaskan dalam pembukaan UUD 1945 yang terdapat pada alinea ke-IV.
Hukum seharusnya tidak ditegakkan dalam bentuknya yang paling kaku, arogan,
hitam putih. Tapi harus berdasarkan rasa keadilan yang tinggi, tidak hanya
mengikuti hukum dalam konteks perundang-undangan hitam putih semata. Karena
hukum yang ditegakkan yang hanya berdasarkan konteks hitam putih belaka hanya
akan menghasilkan putusan-putusan yang kontoversial dan tidak memenuhi rasa
keadilan yang sebenarnya.
Cara yang ketiga yakni program jangka
panjang yang perlu dilakukan yakni penerapan pendidikan karakter dalam setiap
tingkatan pendidikan. Untuk mengetahui tingkat keefektifan program tersebut
dalam membangun atau menguatkan mental anak bangsa ditengah penurunan kualitas
sumber daya manusia bangsa Indonesia tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Namun perlu kita pupuk dulu agar nantinya generasi-generasi penerus bangsa
tidak salah langkah dalam mengambil setiap keputusan. Program ini juga
mempunyai implikasi positif terhadap penegakan hukum yang dijalankan di
Indonesia karena para penegak hukum telah dibekali pembangunan karakter yang
akan melahirkan atau menciptakan manusia Indonesia yang unggul.
Untuk cara keempat yakni adanya
penghargaan bagi jaksa dan hakim berprestasi yang memberikan terobosan-terobosan
dalam penegakan hukum di Indonesia. Dengan adanya penghargaan ini diharapkan
setiap jaksa maupun hakim berlomba untuk memberikan terobosan yang bermanfaat
bagi penegakan hukum di Indonesia.
Meskipun saat ini kepercayaan
masyarakat terhadap aparat penegak hukum masih sangat rendah. Keberanian
lembaga-lembaga hukum bangsa ini akan menjadi titik cerah bagi penegakan hukum.
Namun selain itu kesadaran masyarakat dalam menaati hukum akan menjadi hal yang
mempengaruhi penegakkan hukum di Indonesia. Karena lemahnya penegakan hukum
selama ini juga akibat masyarakat yang kurang menaati hukum.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Masalah penegakan hukum di Indonesia
merupakan masalah yang sangat serius dan akan terus berkembang jika unsur di
dalam sistem itu sendiri tidak ada perubahan, tidak ada reformasi di bidang itu
sendiri. Karakter bangsa Indonesia yang kurang baik merupakan aktor utama dari
segala ketidaksesuaian pelaksanaan hukum di negari ini. Perlu ditekankan sekali
lagi, walaupun tidak semua penegakan hukum di Indonesia tidak semuanya buruk,
Namun keburukan penegakan ini seakan menutupi segala keselaran hukum yang
berjalan di mata masyarakat. Begitu banyak kasus-kasus hukum yang silih
berganti dalam kurun waktu relatif singkat, bahkan bersamaan kejadiaannya.
Perlu ada reformasi yang sebenarnya, karena permasalahan hukum ini merupakan
permasalahan dasar suatu negara, bagaimana masyarakat bisa terjamin keamanannya
atau bagaimana masyarakat bisa merasakan keadilan yang sebenarnya, hukumlah
yang mengatur semua itu, dan perlu digaris-bawahi bahwa hukum sebanarnya telah
sesuai dengan kehidupan masyarakat, tetapi pihak-pihak yang ingin mengambil
keuntungan baik pribadi maupun kelompok merupakan penggagas segala kebobrokan
hukum di negeri ini.
Perlu banyak evaluasi-evaluasi yang
harus dilakukan, harus ada penindaklanjutan yang jelas mengenai penyelewengan
hukum yang kian hari kian menjadi. Perlu ada ketegasan tersendiri dan kesadaran
yang hierarki dari individu atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Perlu
ditanamkan mental yang kuat, sikap malu dan pendirian iman dan takwa yang sejak
kecil harus diberikan kepada kader-kader pemimpin dan pelaksana aparatur negara
atau pihak-pihak berkepentingan lainnya. Karena baik untuk hukum Indonesia,
baik pula untuk bangsanya dan buruk untuk hukum di negeri ini, buruk pula
konsekuensi yang akan diterima oleh masayarakat dan Negara.
Jadi, penerapan dalam pasal 1 ayat
(3) UUD 1945 perubahan ketiga yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara
hukum”, harus dilaksanakan, karena sudah demikian ketetapan itu berlaku.
Merupakan karekteristik yang harus tertanam dalam diri pribadi ataupun kelompok
kepentingan. Kita harus malu dengan Undang-Undang tersebut, harus malu dengan
pendiri bangsa yang rela menumpahkan darah demi memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia, kita harus menghargai semua perjuangan itu dengan hal yang tidak
dapat membuat negeri ini malu di mata masyarakat ini sendiri bahkan dunia luar.
Bangsa yang besar tidak hanya berdasarkan luasan wilayahnya ataupun betapa
banyaknya jumlah penduduk, tetapi dengan menghargai perjuangan para pahlawan
terdahulu dengan menjalankan ketentuan hukum yang berlaku demi terciptanya
keamanan, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat.
B. KRITIK DAN SARAN
Kritik dan saran sangat saya harapkan
dalam makalah ini, segala kekurangan yang ada dalam makalah ini mungkin karena
kelalaian atau ketidaktahuan saya dalam penyusunannya. Segala hal yang tidak
relevan, kekurangan dalam pengetikan atau bahkan ketidakjelasan dalam makalah
ini merupakan proses saya dalam memperlajari bidang studi ini dan diharapkan
saya yang menulis ataupun bagi pembaca dapat mengambil manfaat dari makalah
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin Ali. 2006. Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar
Grafika
Anonim. 2013. Bahan Rilis LSI_Korupsi dan Kepercayaan Publik
pada Penegak Hukum.
Diunduh pada tanggal Oktober 2010 dalam
(http://www.lsi.or.id/riset/398/Rilis%20LSI%207%20November%202010-Korupsi)
Anonim. 2013. Penegakan Hukum di Indonesia Sangat
Memprihatinkan. Diakses pada tanggal 24 November 2013 dalam
(http://news.okezone.com/read/2013/04/10/339/789007/
penegakan-hukum-di-indonesia-sangat-memprihatinkan)
Asshiddiqie, Jimly. 2011. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar
Demokrasi. Jakarta: Sinar
Grafika
Asshiddiqie, Jimly. 2012. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara.
Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada
Ghofur, Abdul Anshori. 2006. Filsafat Hukum Sejarah, Aliran
dan Pemaknaan. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press
Mertokusumo, Sudikno. 1999. Mengenal Hukum Suatu Pengantar.
Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta
Soekanto, Soerjono. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Penegakan Hukum. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada
Soekanto,Soerjono dan Mustafa Abdullah. 1987. Sosiologi Hukum
dalam Masyarakat.
Jakarta: Rajawali Press
Sunarso, Siswanto. 2005. Penegakan Hukum Psikotropika, Kajian
Sosiologi Hukum. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada
Supriadi. 2008. Hukum Lingkungan di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika
Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
No comments:
Post a Comment