Daftar Isi
Kata
Pengantar.......................................................................................................... 2
BAB I
PENDAHULUAN........................................................................................... 3
1.1
Latar belakang.............................................................................................. 3
BAB II
PEMBAHASAN........................................................................................... 4
2.1 Pengertian
ijma’............................................................................................ 4
2.2 Dasar hukum
ijma.......................................................................................... 7
BAB 3 PENUTUP....................................................................................................... 10
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 10
3.2 Saran.............................................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT serta segala rahmat,
berkah, dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
‘’ IJMA’ ’’ Makalah ini disusun guna memberikan
informasi tambahan mengenai perspektif Islam dan juga untuk memenuhi tugas mata
kuliah Ilmu Budaya Dasar . Dengan selesainya
makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang telah
memberikan masukan-masukan kepada saya. Untuk itu saya mengucapkan banyak
terimakasih.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari makalah ini, baik dari
materi maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya pengetahuan dan
pengalaman saya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat saya
harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
1.Latar
belakang
Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang
memiliki tingkat kekuatan argumentasi dibawah dalil-dalil Nas ( Al-qur’an dan
hadist ) ia merupakan dalil pertama setelah al-quran dan hadist yang dapat
dijadikan pendoman dalam mengali hukum- hukum syara’.
Namun
ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya ijma’ itu sendiri yang
mana mereka hanya berpedoman pada al-quran dan hadist, mereka berjihat dengan
sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri (al-qur’an dan hadist
).
Ijma’ muncul
setelah rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk menetepkan hukum
terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.
‘khalifah umar ibnu khattab ra. Misalnya
selalu mengumpulkan para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar pikiran dalam
menetapkan hukum, jika mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia
menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum tang telah disepakati.
BAB II
Pembahasan
1.1
Ijma’
A.
Pengertian
ijma’
Ijma’ merupakan istilah para ahli ushul fiqh adalah; kesepakatan
seluruh para mujtahid dikalangan ummat islam pada suatu masa setelah rasulullah
saw wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.
Apabila terjadi suatu kejadian kepada semua mujtahid dari umat,
mereka sepakat atas hukum mengenainya maka kesepakatan itu disebut ijma’
contohnya al-qur’an
B.
Rukun ijma’
Ijma’ tidak
akan terjadi kecuali dengan keberadaan menurut syara’ ada 4 yaitu;
a. adanya
sejumlah para mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa
b. adanya kesempakatan seluruh mujtahid
dikalangan umat islam terhadap hukum syara’ mengenai suatu kasus / peristiwa
pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri mereka, kebangsaan mereka, atau
pun kelompok mereka.
c .kesepakatan mereka adalah dengan
mengemukakan pendapat masing-masing orang mujtahid itu tentang pendapatnya yang
jelas mengenai suatu peristiwa baik penyampaiaan pendapat masing-masing itu
terbentuk dari ucapan.
Contohnya,
bahwa kesepakatan atas seluruh mujtahid atas suatu hukum itu terealisis.
g. macam-macam ijma’
Ditinjau dari
cara-cara terjadinya ijma’ itu ada 2 macam.
a.
Ijma’
sharih,yaitu persesuaian pendapat para mujtahid pada suatu masa terhadap hukum
suatu peristiwa dengan jalanmasing-masing dari mereka menyatakan pendapatnya
dengan cara menfatwakannya atau memperaktekkannya.yakni setiap mujtahid
mengeluarkan perkataan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatya.
b.
Ijma’
sukuti,yaitu sebagai mujtahid menyatakan pendapatnya dengan tegas dari hukum
suatu peristiwa dengan menfatwakan atau memperaktekkan nya,sedang sebagian
sebagian mujtahid yang lain tidak menyatakan persetujuaanya terhadap hukum itu
dan tidak pula menentangnya.
Ijma’macam pertama menurut jumhur
adalah ijma’ haqiqi dan menjadi sumber hukum syariat.sedangkan ijma’ macam ke
dua adalah ijma’ i’tibari (masih relatif
Ditinjau dari segi qathi (pasti) dan zhanni(dugaan)
dalalah,ijma’itu terbagi 2 macam:
a.
Ijma’ qath’iyud
dalalah terhadap hukumnya.yakni hukum yakni hukum yang dihasilkan oleh
ijma’adalah qath’i,jadi,tidak ada jalan lain untuk menetapkan hukum peristiwa
itu berbeda dengan hukum hasil ijma’ tersebut dan tidak ada jalan lain untuk
berijtihad lagi terhadap peristiwa yang telah ditetapkan oleh ijma’ itu.ijma’
yang qath’iyud dalalah adalah ijma’ sharih.
Ijma’ zhanniud
dalalah terhadap hukumnya, yaitu ijma’ suatu pengikut, dalam arti, bahwasanya
hukum diduga kuat, dan ijma’ ini tidak mengeluarkan kasus tersebut dari
kedudukanya sebagai objek ijtihad, karena ia merupakan ungkapan kelompok
mujtahid
C.
Kehujjahan
ijma’
Sebagai bukti bahwa ijma’ itu menjadi hujjah adalah berikut:
1.
Sebagaimana
halanya allah taala memerintahkan kepada kaum muslimin untuk mentaaati allah
dan rasullnya,juga memerintahka untuk mentaati para pemimpin mereka yang
berkuasa,yaitu dalam firman allah.Q.S an-nisa :56
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ
Artinya :hai orang-orang yang beriman taatlah kepada
allah dan rasulnya dan orang-orang yang memegang kuasaan diantara kamu
sekalian.
2.
Bahwa hukum
yang telah mendapat persepakatan dari seluruh mujjtahid muslimin pada
hakikatnya adalah hukum umat islam seluruh dunia yang tercermin para-para
mujthadid.
Rasulullah
bersabda yang artinya:
Umatku tidak
sepakat untuk membuat kekeliruan(RW.IBNU MAJAH)
Oleh karena itu
persepakatan seluruh mujtahid yang berbeda-beda pendapat daerah dan
lingkungan,dalam suatu peristiwa adalah merupakan bukti bahwa kesatuan hak dan
kebenaranlah yang mempersatukan pendapat-pendapat mereka dan menghilangkan
perselisihan yang dapat terhadap pristiwa itu.
3.
Ijma’ terhadap
hukum syara’ harus dibina di atas sandaran syariat.sebab setiap mujtahid muslim
terikat oleh ketentuan yang tidak boleh dilampauinya.akan tetapi jika didalam
kejadian di ijtihadkan tidak ada nashnya,maka ijtihadnya tidak boleh melampaui
cara menistbatkan(memetikkan suatu hukum).
D.
kemungkinan terjadinya ijma’
Sekelompok ulama
diantara mereka adalah an-nazhzham dan sebagian ulama syi’ah berkata
sesungguhnya ijma’ yang telah jelas rukun-rukunya itu tidak mungkin terjadi
menurut adat kebiasaan,karena sulitnya mewujudkan rukun-rukunnya itu.hal itu
agaknya disebabkan bahwa tidak ditemukan satu ukuran yang dengar itu bisa
diketahui apabila seseorang yang telah mencapai tingkat ijtihad ataukah
belum,dan tidak pula ditemukan suatu hukum yang menjadi rujukan untuk menetapkn
bahwa orang ini adalah seorang mujtahid atau bukan seorang mujtahid.dengan
demikian mengetahui para mujtahid dari bukan mujtahid adalah sulit.jumhur ulama
mengatakan bahwa ijma’ itu mungkin terjadi menurut adat kebiasaan,mereka
mengatakan bahwa orang-oarang yang mengingkari kemungkinan terjadinya ijma’
adalah mengingkari hal-hal yang nyata terjadi dan sebagai bukti yang jelas
kemungkinan terjadinya ijma’ ialah
terjadinya ijma’ adalam kenyataan.jumhur mengemukakan sejumlah contoh ijma’
antara lain ijma’ pengangkatan kekhalifahan Abu Bakar ra.,hak puasa nenek,yaitu
1/6 harta peninggalan.
E.kemungkinan terjadinya ijma’ dalam adalam kenyataan
Menurut satu
riwayat,bahwasanya Abu Bakar ra.apabila kepadanya dihadapkan orang-orang yang
bersengketa dan ia tidak menemukan sesuatu yang akan dia putuskan diantara
mereka baik dalam kitab allah maupun sunnah rasunya,maka dia mengumpulkan
tokoh-tokoh umat islam,dan orang-orang yang terbaik dari kaum mereka,kemudian
ia mengajak mereka bermusyawarah,lalu apabila mereka bersepakat,maka ia pun
melaksanakan kesepakatan itu.
F. kemungkinan terjadi ijma’ menurut adat
jumhur ulama mengatakan bahwa ijma itu mungkin terjadi menurut adat
kebiasaan.mereka mengatakan bahwa orang-orang mengingkari kemungkinana terjadi
dan sebagainya ijma’ ialah terjadinya
ijma’dalam kenyataan. Jumhur mengemukakan sejumlah contoh ijma’ antara lain
ialah ijma’ pengangkatan kekhilafahan abu bakar ra, hak pusaka nenek,yaitu 1/6
harta peninggalandan terhijabnya cucu laki-laki
pancar laki-laki (ibnu-ibni) oleh anak laki-laki.
.
2.1 Dasar hukum ijma' Dasar hukum ijma' berupa aI-Qur'an, al-Hadits dan akal pikiran.
A . Al-Qur'an
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu."
(an-Nisâ': 59)
Perkataan amri yang
terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang
bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan
dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam
urusan agama ialah para mujtahid.
Dari ayat di atas dipahami bahwa
jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari
suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh
kaum muslimin.
Firman AIlah SWT:
واَعْتصِمُواْ بِحَبْلِ الله
جَمِيْعًا وَلاَ تَفَـرَّقوُا
Artinya:
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali
(agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai." (Ali
Imran: 103)
Ayat ini memerintahkan kaum
muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian
bersatu itu ialah berijma' (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu
dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.
Firman Allah SWT:
وَمَنْ يُشَاقِقِ
الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ
الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَا
تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Artinya: "Dan barangsiapa yang menantang Rasul setelah
jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang
beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali." (an-Nisâ': 115)
Pada ayat di
atas terdapat perkataan sabîlil
mu'minîna yang berarti
jalan orang-orang yang beriman.
Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat diartikan dengan ijma',
sehingga maksud ayat ialah: "barangsiapa yang tidak mengikuti ijma' para
mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke dalam neraka."
B. AI-Hadits
Bila para mujtahid telah
melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka
ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan
untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW:
Artinya: "umatku tidak akan bersepakat
untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
C. Akal pikiran
Setiap ijma'
yang dilakukan atas hukum syara', hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas
pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah
mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan
dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad
dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui
batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam
berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar
ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum
agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash,
seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan
seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak
akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan al-Hadits, karena semuanya
dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh
melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan,
tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa
lebih utama diamalkan.
BAB III
PENUTUP
a.kesimpulan
ijma’ adalah salah satu
dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi dibawah dalil-dalil Nas
( Al-qur’an dan hadist ) ia merupakan dalil pertama setelah al-quran dan hadist
yang dapat dijadikan pendoman dalam mengali hukum- hukum syara’.
b.saran
jadikanlah makalah ini sebagai media untuk memahami diantara
sumber-sumber islam (ijma’) demi terwujudnya dan terciptanya tatanan umat
(masyarakat ) adil dan makmur. Kami sadar , dalam penulisan makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan. Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan saran
kritikan demi kesempurnaan penulisan makalh selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsmani. Ushul Fiqih. Jogjakarta : Media
Hidayah. 2008.Syekh Ali bin Muhammad Al-Jurjani. At-Ta’rifat. Haromain. Syarifuddin, Amir. Prof.Dr. Ushul Fiqih jilid I. Ciputat : Logos. 1997.
Wahhab Khallaf, Abdul. Prof. Dr. (alih bahasa : Prof. KH. Masdar Helmy). Ilmu Ushul Fiqih. Bandung : Gema Risalah Press. 1997.
No comments:
Post a Comment