Wednesday, 27 April 2016

Makalah Tentang Ijma'

  aulia       Wednesday, 27 April 2016



Daftar Isi
Kata Pengantar..........................................................................................................    2         
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................... 3
1.1                Latar belakang..............................................................................................   3
BAB II  PEMBAHASAN........................................................................................... 4
2.1          Pengertian ijma’............................................................................................  4
2.2          Dasar hukum ijma.......................................................................................... 7
BAB 3 PENUTUP....................................................................................................... 10
3.1          Kesimpulan.................................................................................................... 10
3.2          Saran.............................................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA

 


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT serta segala rahmat, berkah, dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ‘’ IJMA’ ’’   Makalah ini disusun guna memberikan informasi tambahan mengenai perspektif Islam dan juga untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Budaya Dasar . Dengan selesainya  makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang telah memberikan masukan-masukan kepada saya. Untuk itu saya mengucapkan banyak terimakasih.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari makalah ini, baik dari materi maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya pengetahuan dan pengalaman saya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari makalah ini.



BAB I

 PENDAHULUAN
1.Latar belakang
 Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi dibawah dalil-dalil Nas ( Al-qur’an dan hadist ) ia merupakan dalil pertama setelah al-quran dan hadist yang dapat dijadikan pendoman dalam mengali hukum- hukum syara’.
Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya ijma’ itu sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada al-quran dan hadist, mereka berjihat dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri (al-qur’an dan hadist ).
Ijma’ muncul setelah rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk menetepkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.
     ‘khalifah umar ibnu khattab ra. Misalnya selalu mengumpulkan para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar pikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum tang telah disepakati.



BAB II
Pembahasan
      1.1  Ijma’
A.    Pengertian ijma’
Ijma’ merupakan istilah para ahli ushul fiqh adalah; kesepakatan seluruh para mujtahid dikalangan ummat islam pada suatu masa setelah rasulullah saw wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.
Apabila terjadi suatu kejadian kepada semua mujtahid dari umat, mereka sepakat atas hukum mengenainya maka kesepakatan itu disebut ijma’ contohnya al-qur’an

B.     Rukun ijma’
Ijma’ tidak akan terjadi kecuali dengan keberadaan menurut syara’ ada 4 yaitu;
a.   adanya sejumlah para mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa
b.  adanya kesempakatan seluruh mujtahid dikalangan umat islam terhadap hukum syara’ mengenai suatu kasus / peristiwa pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri mereka, kebangsaan mereka, atau pun kelompok mereka.
c .kesepakatan mereka adalah dengan mengemukakan pendapat masing-masing orang mujtahid itu tentang pendapatnya yang jelas mengenai suatu peristiwa baik penyampaiaan pendapat masing-masing itu terbentuk dari ucapan.
Contohnya, bahwa kesepakatan atas seluruh mujtahid atas suatu hukum itu terealisis.
g. macam-macam ijma’
            Ditinjau dari cara-cara terjadinya ijma’ itu ada 2 macam.
a.       Ijma’ sharih,yaitu persesuaian pendapat para mujtahid pada suatu masa terhadap hukum suatu peristiwa dengan jalanmasing-masing dari mereka menyatakan pendapatnya dengan cara menfatwakannya atau memperaktekkannya.yakni setiap mujtahid mengeluarkan perkataan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatya.
b.      Ijma’ sukuti,yaitu sebagai mujtahid menyatakan pendapatnya dengan tegas dari hukum suatu peristiwa dengan menfatwakan atau memperaktekkan nya,sedang sebagian sebagian mujtahid yang lain tidak menyatakan persetujuaanya terhadap hukum itu dan tidak pula menentangnya.
Ijma’macam pertama menurut jumhur adalah ijma’ haqiqi dan menjadi sumber hukum syariat.sedangkan ijma’ macam ke dua adalah ijma’ i’tibari (masih relatif
Ditinjau dari segi qathi (pasti) dan zhanni(dugaan) dalalah,ijma’itu terbagi 2 macam:
a.       Ijma’ qath’iyud dalalah terhadap hukumnya.yakni hukum yakni hukum yang dihasilkan oleh ijma’adalah qath’i,jadi,tidak ada jalan lain untuk menetapkan hukum peristiwa itu berbeda dengan hukum hasil ijma’ tersebut dan tidak ada jalan lain untuk berijtihad lagi terhadap peristiwa yang telah ditetapkan oleh ijma’ itu.ijma’ yang qath’iyud dalalah adalah ijma’ sharih.
Ijma’ zhanniud dalalah terhadap hukumnya, yaitu ijma’ suatu pengikut, dalam arti, bahwasanya hukum diduga kuat, dan ijma’ ini tidak mengeluarkan kasus tersebut dari kedudukanya sebagai objek ijtihad, karena ia merupakan ungkapan kelompok mujtahid

C.     Kehujjahan ijma’
Sebagai bukti bahwa ijma’ itu menjadi hujjah adalah berikut:
1.      Sebagaimana halanya allah taala memerintahkan kepada kaum muslimin untuk mentaaati allah dan rasullnya,juga memerintahka untuk mentaati para pemimpin mereka yang berkuasa,yaitu dalam firman allah.Q.S an-nisa :56

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ

Artinya  :hai orang-orang yang beriman taatlah kepada allah dan rasulnya dan orang-orang yang memegang kuasaan diantara kamu sekalian.

2.      Bahwa hukum yang telah mendapat persepakatan dari seluruh mujjtahid muslimin pada hakikatnya adalah hukum umat islam seluruh dunia yang tercermin para-para mujthadid.
Rasulullah bersabda yang artinya:


Umatku tidak sepakat untuk membuat kekeliruan(RW.IBNU MAJAH)
Oleh karena itu persepakatan seluruh mujtahid yang berbeda-beda pendapat daerah dan lingkungan,dalam suatu peristiwa adalah merupakan bukti bahwa kesatuan hak dan kebenaranlah yang mempersatukan pendapat-pendapat mereka dan menghilangkan perselisihan yang dapat terhadap pristiwa itu.

3.      Ijma’ terhadap hukum syara’ harus dibina di atas sandaran syariat.sebab setiap mujtahid muslim terikat oleh ketentuan yang tidak boleh dilampauinya.akan tetapi jika didalam kejadian di ijtihadkan tidak ada nashnya,maka ijtihadnya tidak boleh melampaui cara menistbatkan(memetikkan suatu hukum).

D.     kemungkinan terjadinya ijma’
            Sekelompok ulama diantara mereka adalah an-nazhzham dan sebagian ulama syi’ah berkata sesungguhnya ijma’ yang telah jelas rukun-rukunya itu tidak mungkin terjadi menurut adat kebiasaan,karena sulitnya mewujudkan rukun-rukunnya itu.hal itu agaknya disebabkan bahwa tidak ditemukan satu ukuran yang dengar itu bisa diketahui apabila seseorang yang telah mencapai tingkat ijtihad ataukah belum,dan tidak pula ditemukan suatu hukum yang menjadi rujukan untuk menetapkn bahwa orang ini adalah seorang mujtahid atau bukan seorang mujtahid.dengan demikian mengetahui para mujtahid dari bukan mujtahid adalah sulit.jumhur ulama mengatakan bahwa ijma’ itu mungkin terjadi menurut adat kebiasaan,mereka mengatakan bahwa orang-oarang yang mengingkari kemungkinan terjadinya ijma’ adalah mengingkari hal-hal yang nyata terjadi dan sebagai bukti yang jelas kemungkinan terjadinya ijma’  ialah terjadinya ijma’ adalam kenyataan.jumhur mengemukakan sejumlah contoh ijma’ antara lain ijma’ pengangkatan kekhalifahan Abu Bakar ra.,hak puasa nenek,yaitu 1/6 harta peninggalan.
E.kemungkinan terjadinya ijma’ dalam adalam kenyataan
            Menurut satu riwayat,bahwasanya Abu Bakar ra.apabila kepadanya dihadapkan orang-orang yang bersengketa dan ia tidak menemukan sesuatu yang akan dia putuskan diantara mereka baik dalam kitab allah maupun sunnah rasunya,maka dia mengumpulkan tokoh-tokoh umat islam,dan orang-orang yang terbaik dari kaum mereka,kemudian ia mengajak mereka bermusyawarah,lalu apabila mereka bersepakat,maka ia pun melaksanakan kesepakatan itu.

F. kemungkinan terjadi ijma’ menurut adat
jumhur ulama mengatakan bahwa ijma itu mungkin terjadi menurut adat kebiasaan.mereka mengatakan bahwa orang-orang mengingkari kemungkinana terjadi dan sebagainya ijma’  ialah terjadinya ijma’dalam kenyataan. Jumhur mengemukakan sejumlah contoh ijma’ antara lain ialah ijma’ pengangkatan kekhilafahan abu bakar ra, hak pusaka nenek,yaitu 1/6 harta peninggalandan terhijabnya cucu laki-laki  pancar laki-laki (ibnu-ibni) oleh anak laki-laki.
. 2.1  Dasar hukum ijma'
Dasar hukum ijma' berupa aI-Qur'an, al-Hadits dan akal pikiran.
A . Al-Qur'an
Allah SWT berfirman:

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu." (an-Nisâ': 59)
Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid.
Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
Firman AIlah SWT:
واَعْتصِمُواْ بِحَبْلِ الله جَمِيْعًا وَلاَ تَفَـرَّقوُا
Artinya:
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai." (Ali Imran: 103)
Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma' (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.
Firman Allah SWT:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Artinya: "Dan barangsiapa yang menantang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisâ': 115)
Pada ayat di atas terdapat perkataan sabîlil mu'minîna yang berarti jalan orang-orang yang beriman. Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat diartikan dengan ijma', sehingga maksud ayat ialah: "barangsiapa yang tidak mengikuti ijma' para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke dalam neraka."

B. AI-Hadits
Bila para mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
C. Akal pikiran
Setiap ijma' yang dilakukan atas hukum syara', hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan al-Hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.

BAB III
PENUTUP
a.kesimpulan
 ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi dibawah dalil-dalil Nas ( Al-qur’an dan hadist ) ia merupakan dalil pertama setelah al-quran dan hadist yang dapat dijadikan pendoman dalam mengali hukum- hukum syara’.
               
b.saran
jadikanlah makalah ini sebagai media untuk memahami diantara sumber-sumber islam (ijma’) demi terwujudnya dan terciptanya tatanan umat (masyarakat ) adil dan makmur. Kami sadar , dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan saran kritikan demi kesempurnaan penulisan makalh selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsmani. Ushul Fiqih. Jogjakarta : Media Hidayah. 2008.
Syekh Ali bin Muhammad Al-Jurjani. At-Ta’rifat. Haromain. Syarifuddin, Amir. Prof.Dr. Ushul Fiqih jilid I. Ciputat : Logos. 1997.
Wahhab Khallaf, Abdul. Prof. Dr. (alih bahasa : Prof. KH. Masdar Helmy). Ilmu Ushul Fiqih. Bandung : Gema Risalah Press. 1997.



logoblog

Thanks for reading Makalah Tentang Ijma'

Previous
« Prev Post

No comments:

Post a Comment